Kepulauan Nusantara yang terletak di antara dua benua dan di antara dua samudra, yaitu Benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Hindia (yang sekrang disebut Samudra Indonesia) dan Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejrah, kebudayaan, adat-istiadat, dan bahasa sendiri-sendiri.
Abad yang silam di beberapa tempat di kepulauan Nusantara berdiri kerarajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit dan Pajajaran (Jawa), Sriwijaya (Sumatra, serta Malaka dan Pasai (Semenanjung). Pada abad yang silam kerajaan-kerajaan itu memililki pengaruh yang cemerlang di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sampai daratan Asia.
Namun, pada abad ke-16 dan 17 kerajaan-kerajaan itu satu demi satu menjadi daerah jajahan bangsa Eropa yang pada mulanya datang untuk mencari rempah-rempah, seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda. Filipina jatuh ke tangan orang Spanyol. Semenanjung Malaka akhir abad ke-17 jatuh ke tangan orang Inggris. Sedangkan kepulauan yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia jatuh pula ke tangan orang Belanda. Beberapa kerajan yang masih berdaulat, setapak demi setapak ditaklukan orang Belanda. Dan pada awal abad ke-20 dengan berakhirnya Perang Aceh, seluruh kepulauan Nusantara semuanya menjadi daerah taklukan Kerajan Belanda.
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.
Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, yang mengaku:
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indoesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Kalau dicermati, tampak dengan jelas yang dimaksudkan dengan "Indonesia" oleh sumpah itu melingkupi seruluh wilayah yang pada masa itu dikenal sebagai Nederlandsch Indie, yaitu wilayah Hindia yang dijajah oleh Belanda.
Politik Belanda dalam menjajah sangat keras. Mereka melakukan segala cara dan paksa untuk mengangkut kekayaan daerah jajahannya. Baru pada awal abad ke-20, poltik Belanda agak lunak, yaitu sebagai reaksi terhadap politik cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah sangat merusak kehidupan kaum bumi putra. Dan sebagai gantinya dianutlah politik etis atau etische politiek.
Politik etis dalam kenyataannya tidaklah mengurangi ketamakan penjajah dalam mengeksploitaasi daerah jajahanya, tetapi sebagai "balas jasa" mereka mulai memperhatikan nasib anak negri. Kemungkinan untuk bersekolah, untuk mendapatkan pendidikan, untuk maju bagi orang-orang bumi putera mulai agak leluasa.
Dan sebagai reaksi terhadap perkembangan itu, para pemimpin nasional Indonesia seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun kian giat memperjuangkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa nasional. Terutama Soekarno telah membuat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang hidup, lincah, lentuk, dan populer.
Perkembangan Sastra
Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.
Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849).
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.
Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.
Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.
Sejarah Sastra Indonesia
Beberapa penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan-persamaan yang dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah sastra Indnesia, kalau diteliti lebih lanjut akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang mencolok baik istilah maupun konsepsinya.
alam ikhtisar ini akan diikuti pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
I. MASA KELAHIRAN (1900-1945) yang dapat dibagi menjadi:
1. Periode awal hingga 1933;
2. Periode 1933-1942;
3. Periode 1942-45.
II. MASA PERKEMBANGAN (1945-sekarang) meliputi:
1. Periode 1945-1953;
2. Periode 1953-1961; dan
3. Periode 1961- sekarang.
Dalam pembabakan ini digunaan istilah "periodisasi" dan bukan "angkatan" karena angkatan dalam sastra Indonesia telah menimbulkan berbagai kekacauan. Pembedaan antara periode yang satu dengan periode yang lain berdasarkan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman. Sedangkan pembedaan antara angkatan yang satu dengan yang lain sering ditekankan pada adanya perbedaan konsepsi masing-masing angkatan. Dalam satu periode mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yang mempunyai konsepsi yang berbeda-beda; sedangkan munculnya periode baru tidak pula usah berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi yang baru. Perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman mungkin menimbukan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan suatu konsepsi sastra baru yang dirumuskan oleh seseorang atau sekelompok sastrawan.
PRIODE 1900-1933
”Bacaan Liar” dan Commissie Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka)
Pada tahun 1848 Pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dan Raja mempergunakan uang sebanyak f25.000 untuk keperluan sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak-anak untuk putera.
Dengan didirikanya sekolah banyak orang yang mempunyai kegemaran membaca dan menulis, sehinga timbulah orang yang berbakat yang mulai menulis berbagai rupa-rupa karangan. Surat-surat kabar dicetak baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa Melayu yang tersebar di Melayu, Jakarta dan kota yang lain.
Pada abar ke- 19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (1882), dan di Jakarta terbit Bianglala (1867).
Kemudian tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat Sastra. Awal abad 20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung yang berbentuk Roman. Yang sangat menarik ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis H.Moekti. Disamping itu pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo (1875-1916) menulis dua buah cerita roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana (1912).
Pengarang lain yang produktif adalah seorang wartawan bernama Mas Marco Martodikromo, kemudian terbit beberapa buah roman yaitu Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924) Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh pemerintah karena mereka berpaham kiri yang sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, maka karangan-karangan itu disebut “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.
Peranakan Indo menulis cerita misalnya G.Francis yang menulis kisah Nyai Dasima (1896). Kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker (1820-1887) yang artinya “Aku Telah Banyak Menderita”. Ia menjadi pegawai pemerintah jajahan di Indonesia. Pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berubah menjadi kantor Bacaan Rakyat (Kantoor Voor de Volkstectuur) pada tahun 1917 atau Balai Pustaka.
Pada tahun terbit roman pertama dalam Bahasa Sunda karangan D.K. Ardiwinata (1866-1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda). Pada tahun 1918 terbitlah cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.
Sajak-sajak Yamin dan Rustam Effendi
Dalam majalah Jong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai dengan Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Antara tahun 1920-1922 Yamin banyak menulis sajak-sajak lirika. Kebanyakan berupa pujian-pujian terhadap tanah air dan bahasa bundanya sebuah sejarahnya yang berjudul “Bahasa Bangsa”melukiskan perasaannya tentang “Tiada bahasa, bangsa pun hilang”.
Pada tahun 1922, sajak Tanah Air yang semula terdiri dari tiga bait dan dimuat dalam Jong Sumatra 1920 itu, kemudian diterbitkan bersama tambahannya menjadi sebuah buku kecil. Judulnya Tanah Air juga, dipersembahkan penyairnya untuk menyonsong peringatan 5 tahun berdirinya perkumpulan “Jong Sumatra Bond”.
M. Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Selain menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatar belakang sejarah, antara Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata ……….. (1932).
Penyair yang sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (1902). Roestam Effendi menulis dua buah buku yaitu Bebasari (1924) dan Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama bersajak mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari cengkraman keserakahan raksasa. Drama ini merupakan sebuah perlambang/simbolik dari cita-cita pengarangnya. Agaknya jelas dari judulnya yang mengandung perkataan “bebas” maksud dari kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda merupakan perlambang tanah air yang berada di tangan penjajah.
Dari segi sejarah sastra Indonesia, buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak. Bukunya yang lain, Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair,
bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.
Sarat-sarat saya mungkiri,
untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
Namun ada juga sajak yang menggambarkan sikap penyair melihat bangsanya yang berada dalam cengkaraman penjajah, misalnya dalam sajak yang berjudul “Mengeluh”. Di dalam sajak ini penyair Roestam Effendi menyajikan perjuangan bangsanya merebut kemerdekaan.
MENGELUH
I
Bukan beta berpijak bunga,
melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disimbur sukar,
bermandi darah, dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
berharta bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuh gaduh,
membobos masuk menyayu kalbu.
Ba’mana boleh berkata beta,
suara sebat, sedanan rusuh,
menghimpit madah, gubahan cintaku.
II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari yang lemah lembut,
Ditanai sayap kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang kita benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sya’irku.
Di situlah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.
Balai Pustaka dan Roman-romannya
Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar merupakan kritik tak langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Roman ini merupakan roman pertama tentang kawin paksa, dan buah tangan M. Kasim yaitu Muda Teruna (1922) yang berupa hikayat.
Roman Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, telah berhasil mengeluarkan kritik terhadap berbagai keburukan adat kuno yang berkenaan dengan perkawinan. Kemudian baru tiga puluh tahun Marah Rusli menghasilkan karya La Hami (1952) dan Anak Kemerdekaan. Ketika ia meninggal, masih ada subuah naskan roman yang belum diterbitkan berjudul Memang Jodoh.
Pengarang lain yang menentang adat kuno mengenai perkawinan dalam roman-romannya ialah Adinogoro nama samaran Djamaludin (1904-1966) yang menulis dua buah buah roman berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Kedua roman itu tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuno dalam membela haknya memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu.
Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalm pernikahan anaknya terdapat pula dalam roman lain terbitan Balai Pustaka misalnya roman berjudul Karam Dalam Gelombang Percintaan (1926) buah tangan Kedjora, Pertemuan (1927) buah tangan Abas Soetan Pamoentjak, Salah Pilih (1928) karangan Nur Sutan Iskandar, Cinta yang Membawa Maut (1926) karangan Abd. Ager dan Nursinah Iskandar.
Kisah percintaan yang tokoh-tokohnya terdiri dari para pemuda yang telah mengecap pendidikan sekolah merupakan tema yang disukai benar oleh umumnya para pengarang masa itu, seperti dapat dita baca dalam roman-roman Jeumpa Aceh (1928) bukan tangan H.M. Zainuddin. Tak Disangka (1929) karangan Tulis Sutan Sati, Tak Putus Dirundung Malang (1929) karangan Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain.
Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun dua puluhan ialah Salah Asuhan (1928) buah tangan lebih realistis. Yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang menjadi masalah bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan Indische Partij (tahun belasan) ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk ke dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam syari’at Islam pernah mendapat hukuman dari pemerintah jajahan Balanda. Ia seorang Minangkabau yang pergi merantau untuk berlayar ke Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup di tanah Priangan sampai meninggal. Kecuali menulis Salah Asuhan, ia pun menulis Pertemuan Jodoh (1933), juga roman percintaan yang bertendensi sosial. Sehabis perang menulis roman berdasarkan sejarah yakni Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi Salah Asuhan nilainya.
Halnya dengan Sanusi Pane (1905-1968), bukunya pertama berupa kumpulan prosa lirik berjudul “Pancaran Cinta” (1926), kemudian disusul oleh kumpulan sajak Puspa Mega (1927. sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir seluruhnya berbentuk soneta. Bentuk puisi Italia yang pertama kali digunakan oleh Muhammad Yamon ini memang sangat banyak persamaannya dengan pantun. Soneta terdiri dari 14 baris yang umumnya dua bait pertama (octavo) berupa empat seuntai dan 2 bait terakhir (sextet) tiga seuntai.
Hal itu akan nyata sekali dalam salah sebuah soneta yang terdapat dalam Puspa Mega Sanusi Pane sebagai berikut :
TEJDA
Lihat langit sebelah barat
Lautan warna dibuat teja,
Berkilau-kilau dari darat
Ke cakrawala bayangan mega
Makin lama muram cahaya;
Awan kelabu, perlahan melayang,
Melayang, melayang entah ke mana,
Laksana mimpi ia menghilang.
Keluh kesah menurut awan,
Setelah menyala sebentar saja,
Pergi perlahan bermuram durja,
Hatiku menangis dipalu rawan,
Mengenang ba’gia musnah terus,
Setelah bermegah baru sejurus.
Konsepsi ini kemudian diperbaiki lagi dalam sajak yang juga berjudul sajak, yang dimuat dalam kumpulan sajaknya yang terakhir yaitu Madah Kelana (1931). Dalam sajaknya ini ia telah mengubah pandangan tentang sajak dan kepujanggaan
Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melawat ke negeri India yang sangat dikaguminya dan sajak Madah Kelana. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Keluh, Do’a banyak bercerita tantang cintanya.
Dapat kau memberitahukan daku.
Di mana gerang tempat bagia,
Di mana damai tidak terganggu.
Dimana jiwa bersuka ria?
Perhatian yang besar kepada sejarah tampak pula pada drama yang ditulisnya. Dari lima buah drama yang ditulisnya, empat adalah berdasarkan sejarah Jawa, dua diantara yang empat itu ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930). Yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sandhakala ning Majapahit (1933). Drama yang terakhir ditulisnya berjudul Manusia Baru (1940).
Pada tahun 1932-1933 ia memimpin majalah Timboel edisi bahasa Indonesia. Perhatiannya kepada sejarah menyebabkan ia menulis buku sejarah Indonesia (1942) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952). Ia juga menerjemahkan Arjuna Wiwaha (1948) dari bahasa Kawi dan menyusun Bungarampai dari Hikayat Lama (1946).
Para Pengarang Balai Pustaka (1900-1942)
1. Nur Sutan Iskandar (lahir di Maninjau 1893)
a. Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922)
b. Cinta yang Membawa Maut (1926)
c. Salah Pilih (1928). Roman ini mengupas tentang keburukan perkawinan Asri dan Sarinah.
d. Karena Mertua (1932). Roman ini melukiskan kehidupan rumah tangga yang terlalu dirong-rong oleh pihak mertua sehingga mengalami berbagai krisis.
e. Tuba Dibalas dengan Susu (1933) yang diambil dari naskah Asmaradewi, mengisahkan kesabaran seorang lelaki yang senantiasa dihinakan oleh pihak perempuan.
f. Hulu Balang Raja (1934) yang merupakan roman sejarah yang didasarkan pada sebuah disertasi H. Kroeskamp De Westkust en Minangkabau (1665-1668) (partai Barat dan Minangkabau 1665-1668 terbit 1931).
Masih banyak roman atau karya Nur Sutan Iskandar yang terbit setelah tahun 1933. misalnya Katak Hendak Jadi Lembu (1935), Neraka Dunia (1937), Dewi Rimba (1935), Cinta dan Kewajiban (1941), dan lain-lain.
2. I Gusti Njoman Pandji Tisna
a. Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) yang melukiskan kebengisan masyarakat feodal di Bali.
b. Sukreni Gadis Bali (1936) yang melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan kejam.
c. I Swasta Setahun di Bedahulu (1938) yang melukiskan masalah hukum karma, yang merupakan lntrik Keraton dan berbagai kebiasaan raja-raja. Didalamnya menggambarkan kutuk dewata yang harus ditanggung oleh keturunan yang bersangkutan
d. Dewi Karana (1938) diterbitkan di Medan.
e. I Made Widiadi (kembali kepada Tuhan) 1954), dikarang penulisnya setelah memeluk agama Islam.
3. Tulis Sutan Sati (1928)
Ia menerbitakan buku sejak 1920, yaitu sebuah roman berjudul Sengsara Membawa Nikmat yang menceritakan tentang masalah adat dan kawin paksa masih menjadi tema yang utama dalam karangan Tulis Sutan Sati yang pertama. Kemudian ia menerjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thalib yang bergelar St. Pamuntjak dalam bahasa Minangkaau ke dalam bahasa Indonesia. Syair yang ditulisnya berjudul syair Siti Marhumah yang Saleh (1930), syair Rosina (1933). Roman yang ditulis adalah Tak Disangka (1925), Memutuskan Pertalian (1932) dan Tidak Membalas Guna (1932).
4. Paulus Supit (1932)
Ia berasal dari Menado. Menulis roman tentang perjuangan sebuah keluarga yang taat beragama dalam menghadapi berbagai ranjau kehidupan. Seperti Kasih Ibu (1932).
5. Aman Dt. Madjoindo (lahir pada tahun 1896)
Karya-karyanya berupa roman yaitu Menebur Dosa (1932) dan Si Cebol Rindukan Bulan (1934). Buku berupa syair antaranya yang brejudul syair si Banso (Gadis Durhaka) terbit tahun 1931, Syair Gul Bakawali (1936).
6. Sunan Hasibunan atau yang lebih terkenal sebagai Suman Hs. (lahir di Bengkalis tahun 1904).
Karya-karyanya antara lain roman Kasih Tak Terlarai (1929), Percobaan Setia (1931), Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Adapun cerpen buah karyanya adalah Kawan Bergelut (1938). Diluar Balai Pustaka, Suman Hasibuan menerbitkan sebuah roman berjudul Tebusan Darah (1939).
7. Habib St. Maharadja
Karyanya adalah Nasib (1932). Berlainan dengan roman-roman pada zaman itu yang kebanyakan berputar sekitar kawin paksa dan berbagai adat kebiasaan buruk dilingkungan seorang pemuda Minangkabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda di sana, tetapi ketika kemudian mereka kembali ke tanah air, lalu bercerai. Kemudian ia menikah lagi dengan gadis sebangsanya dan keduanya berjanji akan mengabdi kepada bangsa dan tanah airnya.
8. Haji Said Daeng Muntu yang biasa memakai nama H.S.D Muntu ialah seorang pemimpin Muhammadiyah di Sulawesi. Roman-romannya antara lain :
a. Pembalasan (1935), merupakan roman sejarah yang terjadi di daerah Goa ketika daerah itu mulai dikuasai oleh Belanda, menceritakan sekitar pengkhianatan seorang seorang pembantu yang mendapat kepercayaan dari tuannya.
b. Karena Kerendahan Budi (1941), mempermasalahkan persoalan sosial dan pendidikan modern.
9. Soetomo Djauhar Arifin (lahir di Madiun 1916 dan meninggal di Jakarta 1959). Romannya berjudul Ardang Teruna (1941), merupakan roman nyanyian kemenangan kaum muda terhadap kaum kolot.
Para Pengarang Wanita
1. Sariamin yang biasa terkenal dengan nama Selasih atau Seleguri menulis di Talu, Sumatra Barat 1909. Ia menulis dua buah roman yaitu :
a. Kalau Tak Untung (1933), melukiskan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak kecil, sama-sama sekolah dan sama pula hidup dalam tak berkecukupan.
b. Pengaruh Keadaan (1937), mengisahkan kesengsaraan dan kemalangan seorang gadis yang bernama Yusnani, yang hidup dalam tekanan ibu tirinya, sehingga ia kehilangan kepercayaan akan dirinya sendiri.
2. Hamdah yang merupakan samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang berasal dari Palembang. Karyanya hanya sebuah saja yaitu Kehilangan Mestika (1935). Roman ini menceritakan kemalangan seorang gadis yang kehilangan ayah, kemudian kehilangan kekasihnya.
3. Aldin Affandi dan Sa’adah Alun (1898-1968), masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya 1941). Sa’adah Alim menulis cerpen yang dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Kemudian ia menerjemahkan Angin Timur Angin Barat. Karya pengarang wanita kebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel tahun 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).
4. Marra Amin (dilahirkan di Bengkulu 1920), ia menulis sajak-sajak dalam majalah ‘Poejangga Baroe’. Peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumumkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.
Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poeskaka dan lain-lain tahun dua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah pendek yang sifatnya lelucon-hiburan. Cerita-cerita itu mengingatkan kita akan tokoh-tokoh cerita rakyat lama yang terdapat diseluruh Indonesia seperti si Kabayan, si Lebai Malang, Jaka Dolok dan lain-lain.
Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka. Cerita-cerita yang lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, dibukukan dengan judul Teman Duduk. Roman pertama yang dikarang M. Kasim ialah Muda Teruna (1922), Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (si Samin) (1924).
Cerpen-cerpen Suman Hs. yang dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Kumpulan itu berjudul Kawan Bergelut (1938). Judul cerpen-cerpen Suman Hs., diantaranya :
1. Pantai jatuh, yang menyindir orang yang suka sombong
2. Fatwa Membawa Kecewa, menyindir orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah.
3. Kelakar si Bogor, menyindir orang-orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh seorang yang buta huruf.
Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen menjadi bahan yang produktif buat Jaji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau) yang dikumpulkan dalam Lembah Kehidupan (1941).
Cerpen “Inyik Utih”, yang berhasil yaitu melukiskan kesepian dan impian seorang gadis yang sampai rambutnya putih belum bersuami. Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan Taman Penghibur Hati (1941).
Penulis cerpen yang lebih sungguh-sungguh adalah Armijn Pane. Cerpen-cerpennya banyak dimuat dalam majalah Poejangga Baroe, diantaranya yang berjudul “Belenggu”. Dalam cerpen “Tujuan Hidup” ia mencoba melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru dan memilih hidup menyendiri.
Cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang dan sesudah perang dikumpul-kan dan diterbitkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953).
Drama
Dalam penulisan drama, Roestam Effendi telah menulis drama-sajak berjudul Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara Sudah Berkata …… (1932) dan Ken Arok dan Ken Dedes (1934).
Sanusi Pane menulis Kertajaya dan Sandhayakala ning Majapahit. Dalam Bahasa Belanda ialah Airlangga dan Eenzame Garoedavlucht. Umumnya drama itu berbentuk closed drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan.
Armijn Pane dalam drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup zamannya. Berdasarkan cerpennya “Barang Tiada Berharga” ia membuat drama “Lukisan Masa”. Dramanya yang lain “Jinak-jinak Merpati”, juga melukiskan kehidupan zamannya sendiri.
Menjelang Jepang datang, terbit pula pada Balai pustaka dua buah buku drama buah tangan Sa’adah Alim dan Affandi. Buah tangan Sa’adah Alim berjudul Pembalasannya (1940) dan buah tangan Affandi berjudul Gadir Modern (1941).
Penyair dari Sumatra
1. A. Hasjmy atau M. Alie Hasjiem (lahir di Seulimeum Aceh 1914).
Sebagai anggota Poejangga Baroe. Tahun 1936 ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Kisah Serang Pengembara, disusul Dewan Sajak (1940). Kisah Seorang Pengembara memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbentuk soneta dan empat seuntai yang menisahkan pengembaraan seorang pemuda.
Kumpulan sajak Dewan Sajak terbagi dalam tujuh bagian yaitu : Firdaus, Airmata, Karangan Bunga, Kiasan Alam, Dendangan Bunda, Buatan Mimpi, dan Taman Muda.
Sajak-sajak yang berserakan pada masa sesudah perang dibukukan bersama beberapa buah cerpen dengan judul Asmara dalam Pelukan Pelangi (1963).
2. Surapaty, nama samaran M. Saleh Umar
Sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari sajak A. Hasjmy. Sajak dengan judul Indonesia Baru (1941) yang “Dipersembahkan Kepada Angkatan Muda”. Sajak-sajaknya tidak meyakinkan karena tidak ada penghayatan. Sesudah perang ada kumpulan sajak yang terbit yaitu Diriku Ta’ Ada (1949).
3. H.R. Badaharo, nama samaran Banda Harahap (lahir di Medan 1971)
Bukunya Sarinah dan Aku (1940). Ia membuat perlambang pertemuannya dengan tanah air terjajah yang diperumpamakannya dengan seorang wanita yang berada di bawah cengkraman orang. Sedangkan dirinya hina tak dapat berbuat apa-apa.
Bagian lain dari kumpulan sajak ini merupakan ratapan penyair terhadap kekasih yang pergi meninggalkannya. Bandaharo aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan berhasil menerbitkan bebrapa kumpulan sajak di antaranya Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah (1963).
4. Rifa’i `Ali (lahir di Padang Panjang 1909).
Ia menerbitkan Kata Hati (1941). Penyair ini banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan kepercayaan agama yang dipeluknya, agama Islam. Salah satu sajaknya berbunyi :
Basmallah
Dengan bismillah disambut bidan
Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti
Ia pun menerjemahkan ke dalam bentuk puisi beberapa surah Al-Qur’an, yaitu surah Al
Ikhlas menjadi Maha Tunggal, surah Al-Asri menjadi Waktu dan surat An-Nasri menjadi
Bersyukurlah.
5. Or. Mandank
Adalah seorang penyair Islam yang menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya. Nama sebenarnya adalah Oemar gelar Datuk Radjo Mandonk dilahirkan di Kota Panjang, Suliki, 1 Januari 1913. Sindiran itu terdapat dalam buku Sebab Aku Terdiam ………(1939). Ia menerbitkan buku di Balai Pustaka berjudul Narumalina (1932). Sebuah cerita yang penuh lirik melukiskan kehidupan di kampung. Tahun 1939 ia menerbitkan Pantun Orang Muda dan Sebab Aku Terdiam…….
Pemimpin yang merasa cukup dengan memberi fatwa saja berupa ada tanggung jawab, disindirnya dengan halus dalam sajak yang berjudul “Petua dan Nasihat”, sindiran itu ditujukan kepada diri sendiri. Di bagian lain dilukiskan betapa orang-orang yang hendakl bekerja asyik mendengarkan nasihat yang diberikannya. Sementara itu haripun rembang sehingga seharian itu tak apapun dikerjakan. Kemudian Mandank merindukan “Pujangga” tapi bukan ‘Pujangga Pemain Kata’ melainkan pujangga yang turun ke bumi nyata dari tahta untuk memberi bukti perbuatan :
“Pujangga!, turunlah, O, Pujangga!
Dimanakah tuan lagi bertahta!
Saya hasrat hendak berjumpa
Menemui wajahmu, O pujangga!
Bukan pujangga pemain kata
Tetapi pujangga juru pencipta
Pembawa ujud bukti yang nyata
Yang bukan kata sekedar kata …………”
6. Samadi ,
Nama samaran dari Anwar Rasjid (lahir di Maninjau tanggal 18 November 1918). Kumpulan sajak yang diterbitkan Senandung Hidup (1941). Pada tahun 1939 ia menjadi redaktur Peduman Masyarakat dan Pedoman Islam di Medan. Sejak syair yang dihimpunkan dalam Senandung Hidup ditulisnya antara tahun 1935 dan 1941.
Dasar keagamaan pada penyair ini berasa tidak pernah sampai lepas dalam segala penderitaan dan kemalangan Ia senantiasa ingat akan Tuhan
Dalam sajaknya Aku Kembali, Kasih ………ia melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan. Setelah ia mengembara kemana-mana, merasa rindu dan “Selalu sangsi atas cintamu”. Dan kesadaran akan mati menyebabkan ia selalu ingat akan perintah tuhan, seperti ia katakana dalam sajaknya “Betapa Gerang Akan Jadinya”.
Semua itu menyebabkan ia sadar betapa arti hidup dan kehidupan di alam pana ini, seperti dituliskan dalam sajak ‘Hidup’. Segalanya itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran Jalan Benar. Apa kata oaring tak jadi soal, sama halnya dengan sanjung dan puji “membunuh hati”,seperti dikatakanya dalam sajak ‘Asal Takhina di Sisi Tuhan’. Hidup baginya hanyalah mencari ridho Ilahi semata.
Sajaknya ‘Musapir Mendaki Gunung’ dan Kepada Kekasih, merupakan sajak-sajak yang cukup kuat.Sajak itu nafasnya lebih dekat kepada sajak-sajak para penyair sesudah perang dari pada kepada penyair sebelumnya. Penyair ini hilang tak berbekas ditengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatra sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).
TOKOH-TOKOH SASTRA ANGKATAN BALAI PUSTAKA
1. NUR SUTAN ISKANDAR
Nur Sutan Iskandar dilahirkan pada tanggal 3 November 1893 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat. Namanya semasa kecil adalah Muhammad Nur, setelah beristri menurut adat Minangkabau diberi gelar Sutan Iskandar. Pendidikannya adalah Sekolah Melayu kelas II di Maninjau tamat tahun 1908. Ia menjadi guru sekolah desa di sungai batang dan setelah itu menjadi guru bantu di Muara Beliti (Palembang). Pada tahun 1914 ia dipindahkan ke sekolah kelas II di Padang. Selanjutnya berturut-turut kedudukannya adalah menjadi korektor Balai Pustaka, Redaktur Kepala pada Balai Pustaka. Dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra di Universitas Indonesia Jakarta. Salah seorang pengurus Budi Utomo, juga menjadi pengurus Partai Indonesia Raya. Pernah pula menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia. Ia adalah perintis kemerdekaan dan mendapat anugerah Satyalencana Kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Kiranya semua orang akan sependapat kalau dikatakan bahwa Nur Sutan Iskandar adalah orang yang sangat setia kepada karyanya, yakni mengarang. Banyak sekali buku peninggalannya baik berupa karya asli, saduran, maupun terjamahan. Bahasanya amat lancar dan terjaga dengan baik. Dengan sangat teliti ia menggambarkan lokasi cerita, hinggga mampu membuat karyanya sangat menarik.
Adapun karyanya antara lain :
a. Neraka Dunia (Novel 1937)
b. Cinta Tanah Air (Novel 1944)
c. Perjalanan Hidup ; Perjuangan Srikandi Irian Barat untuk Kemerdekaan (1962)
d. Gudang Intan Nabi Sulaiman (1929, dari Ridder Hanggard)
e. Tiga Panglima Perang (1922, saduran dari Alexander Dimas)
f. Abunawas (1929)
2. MARAH RUSLI
Seorang bangsawan yang lahir di Padang pada tahun 1889 dan meninggal pada tanggal 17 Januari 1968. Ia menjadi dokter hewan beberapa lama di Sumbawa dan terakhir di Semarang. Akibat perkawinannya dengan gadis Sunda yang tidak disetujui keluarganya maka ia diasingkan dari ikatan keluarga. Situasi demikian sedikit banyak akan tercermin dalam, karya-karyanya. Roman Siti Nurbaya merupakan roman karya Marah Rusli yang paling populer pada Angkatan Balai Pustaka, bahkan paad zaman Belanda roman itu dicantumkan sebagai buku pelajaran di AMS, Yogyakarta. Marah Rusli dianggap sebagai salah seorang pelopor atau pengakhir zaman kesusasteraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam bukunya bukan hal-hal yang istana sentris lagi dan bukan hal-hal yang bersifat fantasi belaka, melainkan lukisan realitas masyarakat. Adapun karangan Marah Rusli yang lain adalah :
a. Anak dan Kemenakan (roman 1956)
b. La Hami (roman sejarah di Pulau Sumba)
c. Memang Jodoh (belum diterbitkan sampai sekarang)
3. ABDUL MUIS
Abdul Muis dilahirkan di Bukittingi 3 Juli 1886. Ayahnya berasal dari Laras Sungai Puar, Ibunya putri Jawa keturunan Sentot Alibasya. Ia meninggal pada tahun 1959 di Bandung. Pendidikannya adalah Stovia tetapi tidak tamat. Kemudian menjadi wartawan dan pemimpin Serikat Islam, serta giat dalam gerakan untuk memperoleh otonomi yang lebih besar bagi Hindia (Indies) sepanjang Perang Dunia I. Pernah pula menjadi anggota delegasi Comite Indie Weerbaar (Panitia Pertahanan Hindia) ke negeri Belanda. Dilantik menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1920.
Sebagai penulis, penerjemah, dan wartawan, dia hidup secara tidak menonjol di Jawa Barat hingga meninggalnya. Romannya yang paling terkenal adalah Salah Asuhan. Roman ini sangat menarik karena temanya dan cara pengarang mengungkakan tema itu. Selain itu, roman ini menarik karena keterusterangannya dalam membicarakan masalah diskriminasi ras (keturunan bangsa) dan masalah sosial, serta yang lebih menarik lagi karena persoalan ini diungkap karya sastra.
Roman Abdul Muis kedua adalah Pertemuan Jodoh (1933) dibandingkan dengan roman pertamanya roman ini kurang berhasil. Roamn tersebut berisi kritik terhadap unsur-unsur feodalisme yang menghambat kemajuan. Hal yang menarik dari roman tersebut adalah digunakannya dialek Betawi dan Sunda dalam dialog-dialog antara pelakunya.
Adapun karya-karya Abdul Muis yang lain adalah :
a. Surapati (roman sejarah,1950)
b. Putri Umbun-Umbun Emas (1950)
c. Robert Anak Surapati (roman sejarah 1952)
d. Suara Kakaknya (cerpen)
e. Daman Brandal Sekolah Gudang (roman kanak-kanak)
Selain ketiga pengarang yang disebut di atas, sebenarnya banyak sekali pengarang-pengarang lainnya. Mereka antara lain :
4. AMAN DATUK MOJOINDO
Aman Datuk Mojoindo lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat pada tahun 1895 dan meninggal pada tanggal 16 Desember 1969 di Jakarta. Ia pernah memimpin rubrik cerita anak-anak pada majalah Panji Pustaka. Pada umumnya karangannya berisi kejenakaan (humor). Karangan yang telah dihasilkannya antara lain :
a. Si Doel Anak Betawi
b. Si Cebol Rindukan Bulan (roman 1934)
5. MUHAMMAD KASIM
Muhammad Kasim lahir pada tahun 1886 di Muaara Sipongi dan pekerjaan sehari-harinya menjadi guru. Satu keistimewaannya adalah menampilkan cerita-cerita lucu. Bukunya yang berejudul : Pemandangan Dunia Anak-Anak, mendapat juara kesatu dalam lomba mengarang bacaan anak-anak yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, pada tahun 1924. Karangan Muhammad Kasim Antara lain:
a. Teman Duduk (kumpulan cerpen yang dimuat Panji Pustaka sekitar tahun 1931-1935)
b. Muda Teruna (19520)
6. TULIS SUTAN SATI
Tulis Sutan Sati lahir pada tahun 1898 di Bukittinggi dan meninggal paad zaman Jepang. Karya-karyanya terdiri atas asli dan saduran, baik roman maupun syair. Karya-karyanya yang asli berbentuk roman adalah Sengsara Membawa Nikmat (1928), Tidak Tahu Membalas Guna (1932), Tak Disangka (1932), dan Memutuskan Pertalian (1932), sedangkan karya-karya sadurannya dalam bentuk syair adalah Siti Marhumah Yang Saleh (saduran dari cerita Hasanah yang saleh), Syair Rosina (saduran tentang hal yang sebenarnya terjadi di Betawi pada abad lampau), Sabai nan Aluih (saduran dari sebuah kaba Minangkabau dalam bentuk prosa beriman).
7. MERARI SIREGAR
Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juni dan meninggal
tanggal 23 April 1940 di Kalianget, Madura. Ia menjadi terkenal karena romannya Azab
dan Sengsara (1920). Karya-karyanya adalah Azab dan Sengasara (roman 1920).
Selain pengarang di atas juga ada pengarang wanita dalam Balai Pustaka antara lain :
8. Nurani
Nurani terkenal dalam dunia sastra karena terjemahan-terjemahannya antara lain berjudul
Pinokio.
9. Sa’adah Alim
Pengarang ini dikenal karena karya-karyanya sendiri maupun terjemahan. Karyanya sendiri adalah pembalasannya (1941 drama) dan Taman Penghibur Hati (kumpulan cerpen 1941).
10. Selasih
Selasih lahir pada tanggal 31 Juli 1909 di talu, Lubuk Sikaping. Karya-karyanya adalah Kalau- Tak Untung (roman 1933) dan Pengaruh Keadaan (roman 1937), sedangkan puisi-puisinya dimuat dalam majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru. Ia sering menggunakan nama samaran Seleguri atau Sariamin.
PERIODE 1933-1942
1. Lahirnya Majalah Pujangga Baru
Sejak tahun 1920 kita sudah mengenal majalah yang memuat karanagan “sastra seperti Sri Poestaka (1919-1941). Panji Poestaka (1919-1992) Yong Soematra (1920-1926). Hinggga awal tahun 1930 an para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesastraan belum juga terlaksana
Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (1930-193 ) mula-mula dalam bahasa Belanda kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia Sutan Takdir Ali Syahbana sebagai direktur.
Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Ali Syahbana berhasil mendirikan Majalah kesastraan dan bahasa serta kebudayaan umum. Tahun 1935 berubah menjadi menjadi pembawa semangat baru dalam kesastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”. Kemudian tahun 1936 terjadi lagi pembahasan yaiut bnerbunyi “Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia.”
Majalah ini terbit dengan setia meskipun bukan tanpa kesulitan berkat pengorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisahbana. Kelahiran majalah Poejangga Baru yang banyak melontarkan gagsan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan bukan berarti tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandakan bahasa Indonesia sekolah bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi, sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa yang erat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi seperti H. Agus Salim (1884-1954) Sutan Moh. Zain (tahun1887), S.M Latif yang menggunakan nama samaran Linea Recta dan lain-lain.
2. Tokoh-tokoh Poejangga Baru
Sutan Takdir Alisjahbana
Motor dan penggerak semangat gerakan Pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisyahbana lahir di Natal 1908. Sejak tahun 1929 muncul dipanggung sejarah dengan roman berjudul Tak Putus Dirundung Malang, roman kedua berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932) roman ketiga berjudul Layar Terkembang (1936), adapun roman yang berjudul Anak Perawan Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu dari pada Layar Terkembang dimuat sebagai Feulilleton dan majalah Pandji Poestaka.
Tiga puluh tahun kemudian Sutan Takdir Alisjahbana menulis roman yang berjudul Grotta Azzurra (Gua Biru). Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting., yang terbit pada tahun tiga puluhan merupakan salah satu karya terpenting pula dari para pujangga baru .Sebagai penulis roman, Takdir terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina Bahasa Indonesia. Oleh Ir. S. Udin ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia”.
Atas inisiatif Takdir melalui pujangga baru-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia ( 1947-1952 ). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia ( 1957 ).
Takdir juga menulis sajak-sajak salah satunya yang mengenangkan pada kematian isterinya yaitu berjudul Tebaran Mega ( 1936 ).Esai-esai Takdir tentang sastra banyak juga antara lain “Puisi Indonesia Zaman Baru”. Kesusastraan di zaman Pembangunan Bangsa (1938), “Kedudukan Perempuan dalam Kesusastraan Timur Baru (1941)”, dan lain-lain. Ia pun menyusun dua serangkai bungarampai Puisi Lama (1941).Dan Puisi Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing.
Armijn Pane
Organisator pujangga baru adalah Armijn Pane. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Poedjangga Baroe. Armin terkenal sebagai pengarang roman Belenggu (1940). Roman ini mendapat reaksi yang hebat, baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya.Yang pro menyokongnya sebagai hasil sastra yang berani dan yang kontra menyebutnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan dibelakang dinding-dinding kesopanan.
Belenggu ialah sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskan bukanlah gerak-gerak lahir tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerak batinnya. Armijn pane sebagai pengarang dalam roman yang berjudul Belenggu ini tidak menyelesaikan ceritanya sebagai kebiasaan-kebiasaan para pengarang sebelumnya, melainkan membiarkannya diselesaikan oleh para pembaca sesuai dengan angan masing-masing. Sebelum menulis roman Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai dan sandiwara. Cerpennya “Barang Tiada Berharga”. Dan sandiwaranya “Lukisan Masa” merupakan prototif buat romannya Belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya tersebar kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia pun banyak pula penulis esai tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne Indonesische Literatuur (1949).
Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya. Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan pengarang lainnya.
Amir Hamzah (1911-1946)
Amir Hamzah termasuk salah satu penyair religius (keagamaan). Ia menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa. Ia adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum di Jawa. Aktif dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan dan bersama Sultan Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru.
Keturunan bangsawan langkat di Sumatra Timur. Ini menghasilkan karya yang tidak sedikit, diantaranya :
- Sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937)
- Buah Rindu (1941)
- Setanggi Timur (1939)
- Dsb
Ciri khas puisi Amir Hamzah :
1. Ia banyak mempergunakan kata-kata lama yang diambilnya dari khasanah bahasa melayu dan kawi.
2. Kata-kata yang dijemputnya dari bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa Melayu, Jawa, Sunda.
Isi sajak Amir Hamzah kebanyakan bernada kerinduan, penuh ratap kesedihan. Tetapi isi puisinya tidak hanya menimbulkan kesedihan, rasa sunyi dan pasrah diri tapi ia juga menekankan pada rasional.
J. E. Tatengkeng
J. E. Tatengkeng juga termasuk salah seorang penyair religius sama halnya seperti Amir Hamzah. Hanya saja yang membedakan adalah Amir beragama Islam sedangkan J. E. Tangkeng beragama Kristen. Ia juga menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa.
Penyair kelahiran Sangihe ini menulis sebuah buku yang berjudul Rindu Dendam. Puisi pertamanya berjudul Anakku dan masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga Baroe.
Sajak, kritik-kritik, esai-esainya sangat penting terutama karena sifatnya yang tegas dan jujur. Bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang baik menurut norma-norma bahasa Melayu Riau.
Struktur puisinya bebas dari pengaruh pantun dan syair atau bentuk-bentuk puisi melayu lama lainnya.
DAN PENYAIR-PENYAIR PUJANGGA BARU YANG LAIN
Sesungguhnya banyak penyair yang menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup untuk dibukukan. Tetapi tidak mereka lakukan.
Salah seorang diantara mereka adalah Asmara Hadi yang sering mempergunakan nama samaran H.R. atau Ipih, A. M. Daeng Myala (A.M. Thahir), Mozasa (Muhammad Zain Saidi) , M.R. Dajoh dan lain-lain.
a. Asmara Hadi
Sajak-sajaknya penuh romantik dan kesedihan dan dalam sebagian sajaknya lagi terasa semangat perjuangan yang penuh keyakinan. Hal ini di ilhami luka jiwa yang disebabkan oleh kematian cintanya; seperti pada puisi ‘Kusangka Dulu‘, ‘Kuingat Padamu’
b. A. M. Thahir (A.M. Dg. Myala)
Sajak-sajaknya dimuat dalam ‘Pandji Poestaka’ majalah Indonesia dan lain-lain. Pada sajaknya ada kecendrungan kepada pelukisan kehidupan sehari-hari kaum buruh, misalnya dalam sajaknya yang berjudul ‘Buruh’.
c. M. R. Dajoh
Ia juga menaruh minat pada pelukisan kehidupan si kecil. Karyanya antara lain: ‘Syair Untuk A.S.I.B. (1935) dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan lagi kedalam bahasa Indonesia.
d. Moehammad Zain Saidi (Mozasa)
Sajak-sajaknya hanya melukiskan kegembiraan menghadapi alam. Sajaknya sederhana namun didasari rasa cinta yang mesra, seperti dalam puisi yang berjudul: ‘Dikaki Gunung’.
e. A. Rivai (Yogi)
Pada tahun 1930 ia mengumumkan sekumpulan sajak dengan judul Gubahan dalam Sri Poestaka. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul ‘Puspa Aneka’ diterbitkanya sendiri yaitu pada tahun 1931.
Dari sajak-sajaknya akan tampak bahwa ia gemar akan teosofi dan terpengaruh oleh ajaran Krishnamurti.
Kecuali para penyair yang sudah disebut tadi dalam Poedjangga Baroe kita saksikan munculnya para penyair seperti Aoh K. Hadimadja, M. Taslim ‘Ali’ Bahrun Rangkuti, Maria Amin dan lain-lain yang perananya akan lebih penting pada kurun masa yang lebih kemudian.
3. Para Pengarang Balai Pustaka
a. Nur Sutan Iskandar
Lahir di Maninjau 1893. Ia seorang pengarang Balai Pustaka dalam arti sesungguhnya.Roman pertamanya berjudul: Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1922) diterbitkan oleh swasta, yang kedua Cinta yang Membawa Maut (1926), kemudian bukunya yang menarik adalah Salah Pilih (1928) dan beberapa lagi adalah: Karena Mertua (1932), Tuba dibalas dengan Susu(1933), Hulu Balang Raja (1940 yang terpenting merupakan sebuah roman sejarah yang dikerjakan berdasarkan disertasi H. Kroekampde Westkust en Minang Kabau (1665-1668), Pantai Minang Kabau 91668 terbit 19310, Katak Hendak Jadi Lembu (1935) yang berlaku dikalangan priyayi sunda di Sumedang, roman ini gagal diceritakan karena ia tidak mengenal adat Sunda. Neraka Dunia (1937).
Karangan Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga disini adalah Pengalaman Masa Kecil (1949) dan Ujian Masa (1952), yang keduanya merupakan kenangan otobiografis. Pengalaman masa kecil menarik hati yang melukiskan pengalaman-pengalaman sampai ia berusia 15 tahun, ketika ia mulai mengajar di sekolah desa tahun 1908. Ujian Masa lebih merupakan catatan-catatan tentang peristiwa politik yang terjadi di Indonesia sejak aksi meliter Belanda pertama sampai awal 1948.
b. I Gusti Njoman Panji Tisna
Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat Feodal di Bali. Roman pertama yang dikarang putera bali dalam bahasa Indonesia. Roman keduanya adalah Sukreni Gadis Bali (1936) yang melahirkan kehidupan masyarakat bali yang keras dan kejam, roman ini mendapatkan kritikan yang tidak setuju kepada beberapa kepercayaan masyarakat Bali.
BEBERAPA PENGARANG LAIN:
Tulis Sutan Sati menerbitkan buku sajak 1928, sebuah roman yang pertama adalah Sengsara Membawa Nikmat, kemudian menterjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thaib Gelar St Pamuntjak dari bahasa Minangkabau kebahasa Indonesia.
Dua buah Syair Siti Marhumah yang Saleh (1930) dan Syair Rosina. Paulus Supit pengarang Menado mengarang roman yang berjudul Kasih Ibu (1932). Aman Dt. Madjoindo lahir 1896 di Solok terkenal sebagai pengarang anak-anak roman antara lain berjudul Menebus Dosa (1932) dan Si cebol Rindukan Bulan (1934). Dan beberapa syair diantaranya: Si Banso, Gul Bakawali. Suman Hasibuan atau Suman Hs. Lahir di Bengkalis 1904. Terkenal gaya bahasanya yang lincah dan ringan. Cerita-ceritanya mirip detektif diantaranya Kasih Tak Terlarai(1929), Percobaan Setia (1931) dan Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Habib St Maharadja berjudul ‘Nasib’ yang mengisahkan tentang seorang pemuda Minang Kabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda.
4. Para Pengarang Wanita
Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak. Pada masa sebelum perang, yang paling dikenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri. Keduanya nama samaran Sariamin (lahir di Tulu, sumatera Utara, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga baroe dan Pandji Poestaka.
Pengarang wanita lain yang juga pengarang roman ialah hamidah yang konon merupakan nama samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan Mestika (1935) yang diceritakan dalam roman itu ialah kemalangan dan penderitaan pelakunya. Seorang gadis yang mula-mula kehilangan ayah dan kehilangan kekasih berturut-turut.
Adli Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim disamping itu juga menulis sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun menterjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan pengarang wanita berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).
Pada saat menjelang Jepang datang, muncul pula Mario Amin (dilahirkan di Bengkulu Tahun 1920). Menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumpulkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.
5. Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poestaka dan lain-lain tahun kedua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah yang sifatnya lelucon-hiburan, seperti Si Kabayan, Si Lebai malang, Jaka Dolok dan lain-lain.
Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka, cerita-cerita lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, di bukukan dengan judul Teman Duduk.
M. Kasim ialah seorang guru yang telah menulis sejak tahun 1922, yaitu dengan romannya yang pertama berjudul Muda Taruna. Pada tahun 1924 ia menang sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, dengan naskah Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (SI Amin) sebuah cerita kanak-kanak.
Berbagai-bagai saat dalam kehidupan manusia sehari-hari dijadikan bahan tulisan lucunya: beberapa lelucon lebaran dikumpulkannya dengan judul “Gurau Senda di I Sawal” dan yang lainnya seperti “ Bual di Kedai Kopi”, “Bertengkar Berisik”, dan lain-lain.dan hanya “Cara Chicago” lah yang tidak berupa lelucon.
Tidak banyak berbeda dengan cerpen-cerpen M. Kasim ialah cerpen-cerpen Suman Hs. Kemudian dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang ketika itu menjadi redaktur Balai Pustaka. Kumpulan itu diberi judul Kawan Bergulat (1938) judul ini tidak banyak beda dengan judul kumpulan Cerpen M. Kasim: Maksudnya Hendaknya menunjuk isi buku tersebut hanyalah sekedar bahan bacaan senggang. Tetapi kalau dibandingkan gaya bahasanya, bahasa Suman lebih jernih. Hanya terasa pada bewberapa ceritanya, Suman memberikan kritik juga pada sifat-sifat manusia, misalnya dalam “Pandai Jatuh” menyindir orang yang suka sombong dalam “Fatwa membawa Kecewa” menyindir Orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah. Dalam “Kelekar Si Bigor” menyindir orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh orang yang buta huruf.
Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen, menjadi bahan yang produktif buat Haji Abdul Karim Amrullah yang lebih dikenal sebagai Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau). Seperti yang dikumpulkan dalam”Didalam Lembah Kehidupan” (1941). Berlainan dengan M. Kasim dan Suman Hs. Hamka mempergunakan cerpen bukan sebagai hiburan tetapi sebagai usaha untuk menggugah rasa sedih para pembaca. Adapun karya-karya Hamka adalah “kumpulan Air Mata, kesedihan dan rintihan yang diderita oleh golongan manusia diatas dunia ini dan Inyik Utih”.
Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941) dan yang diberinya keterangan “beberapa cerita pergaulan” tidak berhasil sebagai cerpen. Ada semacam prasangka dan ketakutan kepada “Barat” yang menyebabkan pengarangnya mempertahan tradisi dan keras kepala. Pada kenyataan saat Sa’adah Alim menulis cerpen-cerpen itu sebenarnya kaum muda sudah menang. Maka prasangka semacam itu terasa aneh. Tetapi kalau diingat dia berasal dari Minang Kabau dengan sistem kemasyarakatannya matrilinial maka hal itu dapat dipahami juga.
Yang menulis cerpen-cerpen yang sungguh dan lebih ditinjau dari segi sastra ialah Armijn Pane. Cerpennya banyak dimuat dalam majalah poedjangga Baroe. Diantaranya “Barang Tiada Harga” cerpen ini kemudian menjadi dasar romannya Belenggu.Dan dalam cerpennya ”Tujuan Hidup” ia melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru yang memilih hidup sendiri. Dalam cerpen “Lupa” ia melukiskan kehidupan kaum politikus yang karena tak dapat memperjuangkan cita-cita mereka oleh berbagai tekanan pemerintah lalu menghabiskan waktu mereka ditempat-tempat maksiat.
Pada masa sesudah perang cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang ditambah dengan cerpen-cerpen yang ditulisnya kemudian, dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul kisah antara manusia (1953). Kalau “Barang Tiada Berharga” merupakan prototif bagi roman Belenggu yang ditulis Armijn. Maka kita pun menemukan prototif Layar Terkembang dalam cerpen “Mega Mendung” yang ditulis Takdir beberapa waktu sebelum roman itu terbit.Cerpen itu dimuat dalam majalah Pandji Poestaka.
6. Drama
Dalam bidang penulisan Drama kita hanya menyaksikan beberapa orang saja pengarang yang rata-rata menulis lebih dari satu drama.
Roestam Effendi menulis drama dalam bahasa Indonesia yang merupakan sebuah drama sajak Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara sudah Berkata…..(1932) juga Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dimana keduanya merupakan drama berdasarkan sejarah Jawa.
Sanusi pane menulis kertajaya dan Sandhyakala Ning Majapahit yang diambil dari sejarah Jawa, drama yang ditulisnya dlam bahasa Belanda juga mempunyai latar belakang kebesaran sejarah Jawa yaitu Air Langga dan Eenzame Gaoedavlucht.
Kegemaran para pengarang kita pada masa itu melukiasakn kebesaran sejarah, mungkin disebabkan oleh karena kerinduan akan kebesaran diri sendiri. Umumnya drama-drama itu berbentuk closet drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan. Didalamnya kurang sekali gerak dan aksi ataupun pertunjukan watak melainkan banyak sekali percakapan. Namun rata-rata drama-drama tersebut pernah juga di pertunukan diatas panggung. Biasanya apabila ada kesempatan peringatan-peringatan atau kongers-kongres.
Dalam roman Layar Terkembang, Takdir melukiskan bahwa dalam Kongres perikatan Perkumpulan Perempuan yang dihadiri oleh Tuti, dipertunjukan drama Sanusi Pane Sandhyakala ning Majapahit. Kesemapatan itu digunakan Takdir Alisjabana untuk mengkeritik dan mengemukakan pendapat tentang drama itu melalui tokoh-tokoh romannya.
Sanusi Pane yang mengambil tempat peistiwa terjadinya di India Manusia Baru (1940), juga merupakan closet drama. Drama ini seperti drama-drama lain sangat idealistis dan merupakan wadah si pengarang dalam mengemukakan cita-citanya mengenai Timur dan Barat permainan watak, dramatis dan lukisan-lukisan sisinya kurang mendapa perhatian.
Armijin Pane banyak menulis drama pada masa sebelum perang. Drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup jamanya. Berdasarkan cerpenya Barang Tiada Berharga” , juga melukiskan kehidupan jamannya sendiri. Akan tetapi bukan berarti ia tidak menulis drama berdasarkan peristiwa masa silam. Dari roman I Gusti Njoman Pandji Tisna, ia membuat drama ‘I Swasta setahun di Bedahulu’ dan berdasarkan sebuah cerita M.A. Salman dalam bahasa Sunda ia pun setting masa silam.
Setelah perang drama-drama Armijn Pane itu kemudian dikumpulkan dan di terbitkan dengan judul Jinak-
jinak Merpati (1953). Menjelang Jepang datang, terbit pula Balai Pustaka dua buah buku drama tangan Sa’adah Alim yang berjudul. Pembalasannya (1940) dan buah tangan Adin Affandi. Yang berjudul Gadis Modern (1941). Keduanya meupakan komedi yang mengejek orang-orang intelek.
7. Roman-roman dari Medan dan Surabaya
Di luar lingkungan pujangga baru dan Balai Pustaka, ada juga penerbitan-penerbitan sastra, baik prosa berupa roman maupun puisi berupa kumpulan sajak. Dlam lapangan penerbitan roman, untuk tidak menyebutnkan peneribitan roman-roman picisan, kita melihat roman-roman buah tangan hamka yang tadi sudah pernah kita singgung dalam hubungan penulis cerpen.
Hamka ialah putra Haji Abdul Karim Amrullah, seorang ulama pembaharu Islam yang terkemuka di Sumatera Barat yang pernah mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-Zahar di Kairo, Mesir. karena itu, meskuipun Hamka sekolahnya hanya sampai kelas II Sekolah Dsasar saja, namun ia mendapat pendidikan agama dan bahasa Arab yang luas dari Sumatra Thawalib, Parabek (Bukittinggi) dan dari ayahnya. Tahun 1927 Hamka pergi ke Jawa dan belajar lebih lanjut kepada H.O.S. Tjokroaminoto, seorang pemimpin Islam terkemuka di Surabaya. Tahun 1927 ia pergi naik haji ke Mekah dan sepulangnya dari sana ia menjadi guru agama di padang dan turut pula memimpin pergerakan Muahammadijah di sana. Dari sana ia pindah ke medan dan aktif dalam jurnalistik. Ia menulis roman yang mula-mula dimuat sebagai feuilleton dalam majalah yang dipimpinnya. Bahwa seorng ulama menulis roman sangatlah aneh pada saat itu, sehingga timbul heboh. Hal itu menimbulkan pertikaian di kalangan umat Islam sendiri, ada yang pro dan ada yang kontra.
Roman Hamka yang petama berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), mengishkan cinta tak samapi antara dua kekasih yang terhalang oleh adat. Yang membedakan roamn ini dengan kebanyakan roaman adat yang lain ialah karena pengaranya membawa pelakunya ke Mekah dekat Ka’bah. Juga romannya yang kedua Tenggelamnya kapal van der Wijck (1939) mengisahkan cinta tak sampai yang dihalangi oleh adat Minagkabau yang terkenal kukuh itu pula. Dalam roman ini diceritakan tentang Zainuddin seorang anak dari perkawinan cmpuran Minang dengan Makasar tak berhasil mempersunting gadis idamannya karena rapt nidik-mamak tdiak setuju dan menganggap Zainuddin tidak sebagai manusia penuh. Zainuddin kemudian menjadi pengarang dan dalam suatu kecelakaan gadis kecintaanya meninggal dlam kapal yang ditumpanginya.
Roman ini menimbulkan heboh pada tahun 1962, kerena ada orang yang menyebutnya roman ini sebagai hasil curian (plagiat). Roman ini disebut sebagai curian dari sebuah karangan pengarang Perancis Alphonse Karr yang penuh disadur ke dalam Bahasa Arab oleh Mustaffa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1924) sorang pujangga Arab-Mesir yang sangat dikagumi Hamka. Karanga Jean Bapitiste Alphonse Karr (1808-1890) yang dlalm bahsa Perancisnya berjudul Sous les Tilleules (Di bawah naungan pohon Tila) (1832) Madjulin. Madjdulin ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahsas Indonesia oleh A.S Alatas berjudul Magdalena (963).
Kecuali kedua roman itu, Hamka pun menulis pula Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939) dan Merantau ke Deli (1939).yang teakhir merupakan suatu kritik pula terhadap adat Minangkabau yang tidak segan-segan merusak kedamaian rumah tangga yang bahagia, karena si suami (orang Mingan) belum menikah secara adat, yaitu menikah dengan seoanrang Minangkabau, sehingga diceraikannyalah istri asal Jawa yang telah hidup bersama membangun rumah tangga bahagia.
Sehabis perang Hamka sempat menulis cerita. Tahun 1950 ia menulis Menunggu Beduk Berbunyi dan sebelum itu menulis Dijemput Mamaknya (1948?). riwayat hidupnya sendiri ditulisnya dalam empat jilid dengan judul Kenang-kenangan Hidup (1951-1952). Beberapa cerpennya dimasukkan pula ke dalam Di dalam Lembah Kehidupan.
Pengarang lain di Medan antara lain Matu Mona, namna samaran Hasbullah Parinduri (lahir tahun 1920 di Medan). Dan ia menulis roman berlatar peristiwa sejarah, berjudul Zamnan Gemilang (1939). Dan buku-bukunya yang lain adalah Ja Umenek Jadi-jadian, Rol Pacar Merah Indonesia, Spionage Dienst dan lain-lain
Sebuah roman yang dikarang oleh Iman Supardi berjudul Kintamani (1932) yang mengisahkan percintaan seorang pelukis Jawa dengan seorang gadis Bali. Ia seorang wartawan yang aktif di Surabaya.
8. Pengarang Sumatra
Melalui usaha penyairnya sendiri dan penerbit–penerbit swasta kecil-kecilan di sumatra maka terbit beberapa buah kumpulan sajak yaitu Puspa Aneka buah tangan Yogi. Ali Hasjmy, Surapaty, Samadi, Bandaharo dan lain-lain.
Hasjmy atau lebih dikenal dengan M. Alie Hajiem (lahir di Seulimeum Aceh tahun 1914) sajak-sajaknya dimuat dalam majalah pujangga baru yaitu “Kisah Seorang Pengembara” (1936) memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbenmtuk soneta. Karyanya yang lain “Dewan Sajak” (1940) di bagi dalam 7 bagian yang rata-rata setiap bagian pengarang mengungkapkan pengalaman-pengalamanya. Kesukaran keindahan dan kegembiraan namun dengan cara yang datar karena tak ada penghayatan hingga karya-karya beliau dinilai tidak bermutu tinggi.
Tapi sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari pada karya-karya Hasjmy dan dinilai kurang meyakinkan. Demikian juga sajak-sajak H.R. Bandaharo (lahir di Medan 1917) diantaranya “Sarinah dan Aku” (1940). Kemudian sesudah masa pernag ia aktif dalam lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menerbitkan beberapa kumpulan sajak diantaranya “Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah.
Lebih bernilai unik diperhatikan ialah kumpulan sajak Rifa’i ‘Ali (lahir di Padangpanjang tahun1909). Beliau banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan Agama Islam, salah satu sajaknya berbunyi:
BASMALLAH
Dengan bismillah disambut bidan
Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti
Selain Rifa’I ‘Ali penyair Islam lain adalah Or. Mandank (lahir di Kotapanjang, Suliki, 1-1-1913). Lewat karyanya Sebab Aku Terdiam … beliau menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya. karya-karya Dr.Mandank yang lain ialah Pantun Orang Muda (1939).
Penyair terpenting yang menerbitkan sajaknya di Medan sebelum perang ialah Sumadi atau Anwar Rasjid (lahir di Maninjau 18 –11-1918). Kumpulan sajak beliau yang berjudul Senandung Hidup (1941).
Tak ubahnya dengan para penyair masa itu, Samadi pun bersajak kepada tanah airnya yang disebutnya dengan “Ibuku” dan sajaknya yang berjudul ‘Angkatan Baru’ ia sadar sebagai pemuda ia memiliki peranan dan tugas menghadapi hari siang. Ia memandang dirinya sbagai Pengembara, kelana, Pedang yang mengalami berbagai kemalangan.
Dasar keagamaan pada penyair ini tidak pernah lepas, ia senantiasa ingat akan Tuhan, ia sadar dan kian ikhlas berjuang, katanya dalam sajaknya “Jangan Di kenang”. Sajak-sajaknya yang lain berjudul Aku Kembali Kekasih …….’ Ia melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan setelah ia mengembara ke mana-mana merasa rindu dan “Selalu Sangsi Atas Cintamu”. Ia kemudian sadar, BETAPA GERANG AKAN JADINYA?, ASAL TAK HINA DISISI TUHAN.
Semua hal yang terkandung dalam puisi itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran jalan yang benar, hidup baginya hanyalah mencari ridho ilahi semata.
Penyair ini hilang tak berbekas di tengah-tengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatera sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).
PERIODE 1942-1945
1. Saat-Saat yang Mematangkan
Dijajah Jepang selama 3,5 tahun merupakan pengalaman penting dalam sejarah Indonesia pada umumnya dan juga sastra pada khususnya. Karena Bahasa Indonesia tadinya dihindari Belanda agar supaya jangan resmi menjadi bahasa persatuan . Oleh orang Jepang Bahasa indonesia dijadikan satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan diseluruh dikepulauan.
Dengan makin intensifnya Bahasa Indonesia dipergunakan dikepulauan Nusantara, maka sastra indonesiapun mengalami intensifikasi juga. Keimin Bunka Shindo merupakan kantor pusat kebahasaan yang dibentuk oleh Jepang. Selain itu, Jepang juga mengadakan perkumpulan sandiwara dibawah P.O.S.D (Perserikatan Oesha Sandiwara Djawa ) .
Pada masa penjajahan Jepang banyak orang menulis sajak dan cerpen, sandiwara sedangkan roman kurang ditulis itupun yang diterbitkan hanya dua Cinta Tanah Air, karangan Nur Sultan Iskandar dan Palawija (1944) karya Karim Halim. Keduanya roman propaganda yang bernilai sastra.
Pada masa inilah Bahasa Indonesia mengalami pematangan, seperti tampak pada sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus yang tidak hanya sekedar alat untuk bercerita atau menyampaikan berita, tetapi telah menjadi alat pengucap sastra yang dewasa. Usaha inilah yang menyebabkan dimulainya suatu tradisi puisi indonesia yang hampir tak terbatas. Bahasa sajak Chairil Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan,
Kehidupan yang morat-marit juga mengajar para pengarang supaya belajar hemat dengan kata-kata. Setiap kata, kalimat, setiap alinea ditimbang dengan matang, baru disodorkn kepada pembaca. Juga segala superativisme dan perbandingan yang penuh retorika yang menjadi cirri dan kegemaran para pengarang pujangga baru telah ditinggalkan.
2. Para Penyair
Usmar Ismail, Bukittinggi 20 maret 1921, dikenal sebagai seorang dramawan dan sineas (pembuat film). Cerpen-cerpennya hanya ada beberapa saja, antara lain dimuat dalam Pancaran Cinta (1946) dan Gema Tanah Air (1948) disusun oleh H.B Jassin. Sajak-sajak Usmar kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam dengan judul Patung Berasap (1949)
Dalam sajak “Kita Berjuang” ia dengan lantang menyatakan hahsratnya “Beserta saudara turut berjuang.” Maksudnya bserta saudara tua. Dalam sajak “Pujangga dan Cita-cita” ia dengan yakin berkata kepada pujangga, “ Carilah dahulu perjuangan jiwa/Carilah Asia di dalam dada.” Namun tak lama ia pun menulis sajak “Diserang Rasa” yang menggambarkan timbulnya rasa\was-was dan ragu kepada kesungguhnan janji semboyan Jepang
DISERANG RASA
Apa hendak dikata
Jika rasa bersimaharajarela
Di dalam batin gelisah saja
Seperti menanti suatu yang tak hendak tiba
Pelita harapan berkelap-kelip
Tak hendak padam, hanyalah lemah segala sendi
Bertambah kelesah hati yang gundah
Sangsi, kecewa, meradang resah
Benci, dedam……..rindu, cinta………..
Amal Hamzah, adik Amir Hamzah, lahir di Binjai, Langkat 31 Agustus 1922. Ia menerjemahkan beberapa buah karya Tagore, yang pernah mendapatkan hadiah Nobel 1931 di antaranya Gitanyali (1947).
Amal mulai menulis di zaman Jepang, ketika ia kehilangan kepercayaan kepada manusia. Ia menjadi kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalistis. Dalam sandiwara-sandiwaranya sangat menonjolkan sensualisme. Sajak dan karangan lain kemudian diterbitkan dalam sebuha buku berjudul Pembebasan Pertama (1949). Hilangnya kepercayaan kepada manusia, jelass terlihat dalam sajak “Melaut Benciku”. Selain itu, Amal juga menulis buku yang berjudul “ Buku dan Penulis” (1950)
MELAUT BENCIKU
Melaut benciku terhaadap manusia
Melaut pula benciku terhadapku sendiri
Karena dalamkelakuanmereka
Terlihat olehku perangaiku asli
Menjilat
Menipu
Membohong
Memeras
……………………………
Kalau boleh kupinta dulu
Aku tak usah lahir ke dunia tipu
Tapi mlang!
Aku lahir bukan kehendakku!
Dalam pelukan cainta berahi
Tumbuh benih membusuk diri
Tercampak ke dunia
Sebagai hasil nafsu kedua!
Bah!
Kalau boleh kupinta dulu
Jangan badan datang kemari
Rosihan Anwar, Padang 10 mei 1922. Sekarang terkenal sebagai wartawan komunis terkemuka. Sajak-sajaknya banyak melukiskan perasaaan dan semangat pemuda. Cerpennya yang berjudul “Radio Masyarakat” melukiskan kemelut jiwa pemuda yang dilnda keraguan atas segala janji-janji kosong dari Jepang. Pata tahun 1967 Rosihan menerbitkan sebuah roman berjudul “Radja Ketjil, Badjak Laut di Selat Malaka”.
Anas Ma’ruf, Bukittinggi 27 oktober 1922. Pada jaman sesudah perang terkenal sebagai organisator kebahasaan dan penterjemah. Ia juga menterjemahkan karya-karya para pengarang dunia seperti Rabindranath Tagore (India), John Steinback (Amerika), William Saroyan (Amerika). Selain itu, ada
M.S.Ashar , Kutaraja 19 Desember 1921. Ia menulis sajak “Bunglon” merupakan sindiran bagi orang orang yang bertabiat plin-plan. Kemudian Maria Amin , Bengkulu 1921 dengan karyanya “Tengoklah Dunia Sana” dan Nursjamsu, lahir di Sumatera Barat 6 oktober 1921. Di antara karyanya berupa cerpen berjdul “Terawang” dimuat dalam majalah Gema Suasana (1948)
3. Cerita Pendek
Pada masa Jepang cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa penulis cerpen yang terkenal di antaranya adalah H.B. Jassin (Gorontalo, 31 juli 1922) yang menulis cerpen “Anak Laut”. Cerpen itu mungkin bukan cerpen Jassin yang petama, tapi jelas merupakan cerpennya yang terakhir. Sebelum perang Jassin menulis cerpen dalam Poejangga Baroe yang berjudul “Nasib Volontaire “ (1941).
Pengarang cerpen yang lain Bakri Siregar (Langsa /Aceh, 1922). Cerpennya yang pertama berjudul “Ditepi Kawah”. Pada masa pendudukan Jepang cerpen itu dibukukan dengan judul “Jejak Langkah” (1953).
4. Drama
Penulis drama yang juga tumbuh sangat subur di bawah perkumpulan P.O.S.D yang dipimpin Armijn Pane. Beberapa pengarang yang membuat drama pada jaman Jepang adalah Armijn Pane. Armijn yang pada masa sebelum perang telah menulis “Lukisan masa, Barang tiada berharga, dan lain-lain pada masa Jepang menulis beberapa buah sandiwara yang kemudian dibukukan dengan judul “jinak –jinak merpati” (1953). Segera sesudah proklamsi iamenulis “Antara bumi dan langit”.
Usmar Ismail, pada masa Jepang menyadur sebuah kisah “Chichi Kaeru“ karangan Kikuchi Kwan menjadi “Ayahku Pulang”. Selain itu, ia pun menulis sandiwara kepahlawanan rakyat Maluku“Mutiara di Nusa Laut”. Drama yang ditulis Usmar yang belum dibukukan “Mekar Melati”dan “Tempat yang Kosong”. Drama “Api , Liburan Seniman, dan Citra” kemudian dibukukan dengan judul “Sedih dan Gembira” (1949).
Abang Usmar Ismail yang bernama Abu Hanifah (El-Hakim) 1960 di Padang Panjang. Pada zaman Jepang menulis beberapa buah drama yang kemudian dibukukan berjudul “Taufaan di Atas Asia” (1949). Ada empat buah drama dalam buku itu, yaitu Taufan di Atas Asia terdiri dari 4 bagian, Intelek Istimewa, 3 bagian , Dewi Reni, 3 babak, Insan kamil, 3 babak. Drama Rogaya, 4 babak; Mambang laut, 3 babak belum pernah dibukukan. Kecuali drama, ia juga menulis roman Dokter Rimbu (1942).
Idrus, pada zaman Jepang menulis beberpa buah drama, antaraanya “Kejahatan Membalas Dendam” dimuat dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948); Jibaku Aceh (1945); Keluarga Surono (1948); Dokter Bisma 1945. Dalam “Kejahatan Membalas Dendam” ia melukiskan perjuangan pengarangmuda dalam menghadapi (kekuasaan) pengarang kolot dengan (tentu saja) kemenangan di pihak pengarang muda, meskipun si pengarang kolot main guna-guna segala.
Kotot Sukardi menulis sandiwara Bende Mataram yang berlatar belakang maa perang Diponegoro (1825-1830). Sandiwaara itu kemudia diterbitka Balai Pustaka dengan judul yang sama bersama-sama dengan karangan Inu Kertapati yang berjudul Sumping Sureng Pati tahun1945.