Sabtu, 12 November 2011

Hepatitis A


Baru-baru ini kita menyaksikan di televisi bahwa ada sekolah di Jakarta yang puluhan siswanya tiba-tiba terinfeksi virus Hepatitis A. Oleh sebab itu, pada tulisan kali ini saya akan memaparkan beberapa hal mengenai penyakit Hepatitis A yang saya kutip dari @infomedis. Semoga informasi ini bermanfaat buat anda sekalian dalam mencegah penularan virus Hepatitis A.
·         Hepatitis A merupakan infeksi yang endemis di masyarakat kita, terutama di akhir musim kemarau ini.
·         Infeksi Hepatitis A yang diketahui bisa menyebar melalui makanan jajanan.
·         Hepatitis A adalah infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis A.
·         Hepatitis A disebarkan melalui makanan dan minuman atau juga melalui kontak langsung.
·         Hubungan seksual, khususnya secara anal dan oral, juga bisa menjadi penyebab penularan Hepatitis A.
·         Virus Hepatitis A terdapat pada fases pasien yang terinfeksi.
·         Pasien dengan Hepatitis A biasanya mengalami mata dan kulit kuning dan urine yang berwarna kuning gelap.
·         Gejala awal Hepatitis A malah seperti flu dengan sakit badan, mual, dan kadang disertai muntah, nafsu makan menurun, dan lemas.
·         Penderita Hepatitis A juga merasakan nyeri di perut kanan atas. Ini tidak mengherankan sebab liver pasien Hepatitis A memang akan merdang.
·         Adapun obat-obat yang diberikan sifatnya hanya menghilangkan gejala yang muncul. Contohnya jika diare diberikan obat anti diare.
·         Yang terpenting dalam mencegah terinfeksi virus Hepatitis A adalah hidup sehat dengan makanan yang teratur dan cukup gizi, dan juga istirahat yang cukup.
·         Tidak lupa rutin mencuci tangan dengan sabun, sebelum dan sesudah makan serta setelah keluar dari toilet untuk terhindar dari Hepatitis A.
(sumber: @infomedis)

Read more »

Sabtu, 05 November 2011

Jejak-jejak Pena Dua Generasi

Namanya adalah Dra. Sesilia Seli, M.Pd. Lahir 48 tahun silam di Semenok Kalimantan Barat. Merupakan dosen tetap di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak. Saat ini sedang melanjutkan studi diktoralnya di Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.

Dosen yang enerjik, modis, disiplin, dan punya tatapan “mendalam” yang sangat disegani dan dicintai oleh tiap mahasiswa, terlebih bagi mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia, termasuklah saya, baru-baru ini menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi berjudul “Jejak-jejak Pena Dua Generasi”. Karya “duet”-nya bersama sang putri Pricilla Pascadeany Frelians, siswi kelas XII IPS Stella Duce 2 Yogyakarta. Sebuah karya—yang menurut saya sebuah masterpiece—hasil kontemplasi mendalam terhadap kehidupan yang manis getir. Entah itu percintaan, pergolakan bathin, kehilangan, harapan dan perjuangan.

Kumpulan puisi ini boleh saya katakan sebagai “karya langka” dari dosen-dosen FKIP Untan yang membidangi sastra. Hanya ibu Seli/bunda Seli (begitu mahasiswa akrab memanggil) yang berani menelurkan karya seperti ini. Sebuah karya yang “khas” dan wajib saya apresiasi.

Saya ingat waktu itu ibu Seli sedang berada di Malaysia ketika saya “memberanikan diri” untuk minta izin menulis beberapa hal mengenai karyanya ini (saya menggunakan fasilitas chatting FB). Syukur saat itu ibu Seli langsung mengiyakan. Kalau pun beliau tidak berkenan, saya akan tetap mengomentari karyanya ini, karena menurut saya, buku kumpulan puisi ini sudah menjadi milik umum dan pantas untuk dikomentari.

Kenapa Harus Puisi?
Setiap orang mempunyai “sarana” untuk menuangkan, mengungkapkan, mencurahkan atas segala hal yang ada di pikiran, hati, dan perasaannya. Mereka bisa menggunakan tulisan: cerpen, novel, essay, dan lainya. Mereka bisa menggunakan lagu. Mereka bisa menggunakan tangan: patung, lukisan, dan banyak lainnya. Mereka juga bisa menggunakan puisi. Puisi cocok untuk mereka yang sedikit ekspresif, peka, dan perasa. Oleh sebab itu, puisi bisa sangat menyentuh.

Chairil Anwar, Amir Hamzah, Taufiq Ismail, W.S. Rendra, dan banyak lainnya telah berhasil menggugah pucuk perasaan dan pikiran tiap orang hanya dengan menggunaka sebait puisi.

Keindahan puisi bukan hanya dinilai dari keteraturan tiap barisnya. Bukan juga keindahan kata-katanya, bukan juga harmoni melodinya, tetapi juga kedalaman makna dan cinta yang ditimbulkan setelahnya. Karena dimunculkan dari kedalaman hati, puisi menjadi begitu dramatis dan ekspresif. Hal inilah sepertinya disadari betul oleh ibu Seli ketika memilih puisi sebagai “sarana”-nya.

Jejak-Jejak Pena Dua Generasi
Kesan pertama saya setelah membaca puisi-puisi dalam buku “Jejak-jejak Pena Dua Generasi” ini adalah biasa saja. Bahasa yang digunakan begitu sederhana. Begitu umum. Simpel dan sangat mudah untuk dipahami maknanya. Akan tetapi, inilah identitas sejati dari gaya ibu Seli. Identitas yang jujur. Identitas yang menampilkan wajah kesederhanaan. Untuk alasan ini saya harus menyalahkan kesan pertama saya itu. Kesan pertama yang tak cukup menggoda.

Melalui puisi-puisi ini, ibu Seli tampil sebagai sosok yang jujur dalam menilai, jujur dalam merasa, dan jujur dalam mencintai. Dengan kata-kata yang sederhana, mengalir berirama, akan sangat mudah sekali untuk memahami makna yang tersampaikan tanpa harus mengerutkan dahi.

Ada beberapa puisi dalam kumpulan puisi ini yang secara subyektif saya anggap menarik dan mewakili keseluruhan. Termasuk di dalamnya satu puisi karangan sang putri Pricilla Pascadeany Frelians.

Pada halaman pertama kita disambut oleh puisi berjudul Perempuan dalam Sketsa. Puisi ini secara tersirat merupakan ucapan selamat datang dari penulis kepada pembaca. Seolah-olah hendak mengatakan, “Hei, para pembaca budiman! inilah aku apa adanya! Akulah perempuan dalam sketsa ini.” Antara kerapuhan dan kekuatan, mengambarkan bahwa dirinya adalah wanita yang seimbang. Berikut ini syair puisinya.

Perempuan dalam Sketsa
Tuhan, Engkau membentuk aku
Dalam rahim ibuku dengan kasih-Mu melalui ayahku
Ajaib, luar biasa, amat mengagumkan
Perempuan, itulah jentinaku
Perempuan yang telah kau hembusi dengan roh kehidupan
Aku hidup
Aku ada

Aku ternyata perempuan yang amat biasa
Biasa dalam segala harap dan rasa
Biasa dalam merasa dan bertindak
Biasa dalam kesesakan dan kemujuran
Biasa, ya aku perempuan biasa
Biasa dalam kelemahan, juga kelebihan

Aku perempuan dengan sejumlah warna
Baik rona pelangi yang menyelimuti hidupku
Begitulah harapku, niatku, citaku, dan mimpiku
Bahkan cintaku

Gambar perempuan itu, ternyata gambarku
Figuranya adalah hamparan perjalanan kesaharianku
Perempuan itu, ternyata aku
Ya, aku perempuan dalam sketsa ini
Perempuan itu, memang akulah
Ya, memang aku perempuan
Dengan identitas yang pasti
Bahkan teramat pasti

Cinta sejati yang murni adalah semata-mata kepada kekasih hati (suami). Kekasih yang selalu ada dalam susah dan senang. Kekasih yang selalu menemani hingga ajal menjemput. Cinta yang sebenarnya begitu sederhana. Itulah pesan yang terkandung pada puisi Kesederhanaan adalah Cinta Kita dan Dirimu yang ia tujukan khusus untuk suami terkasih. Berikut ini syair puisinya.

Kesederhanaan adalah Cinta Kita
-Untuk yang Terkasih Frans Laten-
Derai-derai ombak di pantai itu
Mengingatkan aku ketika cinta kita bermula
Dari kesederhanaan yang amat lekat dengan dirimu
1983 itulah awalnya
Semua terasa biasa dan teramat biasa
Persahabatan yang melahirkan rasa cinta yang tak berakhir

Pertengahan Juli 1987
Kau membawaku ke altar
Kau menikahiku
Sejuta rasa yang tak terkatakan

Dua puluh tiga tahun kemudian
Rasa kita tetap sama,
Terasa hangat, menggetarkan seperti rasa kita dulu
Riak gelombang keseharian kita membuat kita kuat
Kita tetap bertahan dalam kesederhanaan kita
Seperti kesederhanaan kita 23 tahun yang lalu
Rasa kita rasa yang abadi
Walau kerap kita salah menduga
Salah menilai, salah merasa
Ternyata rasa kita tak hendak berubah

Aku menyayangimu dalam kesederhanaan
Kesederhanaan yang memaafkan segala asa
Kesederhanaan yang membuatku tak mampu berpaling
Kesederhanaanmu mengikatku dalam keabadian rasa

Asa yang amat membahagiakan
Aku aman dalam kesederhanaanmu
Rasamu adalah rasaku
Rasa kita

Dirimu
Dirimu adalah bagian yang tak terencanakan
Yang hadir tanpa kumengerti
Yang selalu ada tanpa kuminta

Dirimu adalah bagian yang tak kupahami
Berpuluh-puluh kitab telah kubaca
Namun, tiada jawaban tentang dirimu

Dirimu adalah bagian yang amat mengusikku
Setiap hari aku mencari celah untuk menghindarimu
Namun, dirimu terus merembes di segenap hatiku
Tanpa bisa untuk kutolak

Dirimu adalah bagian yang terlarang dalam hidupku
Setiap saat bisik hatiku menolak hadirnya dirimu
Namun, pesonamu teramat memukau
Hingga aku menyerah pada hatimu

Dirimu adalah bagian yang amat berarti bagi diriku
Bahkan teramat berarti hingga tak tertandingi
Namun, hadirmu membuatku termangu
Hingga rasa itu membelengguku

Begitulah dirimu yang teramat abu-abu
Dirimu yang memaksaku untuk bersikap
Menuntutku untuk berani mengucap
Bahwa kita sama-sama merasa
Sama-sama menduga
Sama-sama menunggu
Sama-sama berharap
Sama-sama memiliki
Sama-sama ada

Puisi ini memunyai impact yang nyata bagi tiap pasangan entah sudah menikah ataupun belum. Kesetiaan dan ketulusan mutlak harus dimiliki oleh setiap pasangan dalam membangun sebuah hubungan. Puisi ini hendak menyampaikan bahwa cinta itu akan semakin mudah dipahami bila kita memandangnya sebagai hal yang sederhana. Dan begitulah kenyataannya cinta, kompleks.

Kedukaan selepas ditinggalkan oleh orang yang terkasih memang akan tidak mudah dilupakan. Di antara beberapa puisi yang bercerita tentang kedukaan setelah ditinggalkan, Belahan Jiwa 3 menggambarkan kesan yang begitu nyata dari kesedihan dan kepedihan jiwa seorang perempuan, seorang ibu, seorang mama. Pada akhirnya disadari bahwa kedukaan itu tidak akan dibiarkan larut terlalu dalam. Kepasrahan akan kehendak alam dan Tuhan menghadirkan ketenangan bagi jiwa. “biarlah rencana-Mu menjadi rencanaku”. Berikut ini syair puisinya.

Belahan Jiwa 3
Jika mengenangmu
Perih rasa kalbuku yang paling dalam
Aristo belahan jiwaku
Lima belas tahun yang silam
Dirimu begitu lekat dalam kepedihanku
Hadirmu yang tak terduga
Begitu juga pergimu yang tak pernah terbayang
Keabadian itulah tempatmu kini, Nak.

Jika teringat duka itu
Rasanya aku masih merasakan degup jantungmu
Denyut nadimu pertanda dirimu masih dalam dekapan
Lima belas tahun yang silam
Seolah baru kemarin duka itu hadir
Aku merasa ikut hilang bersamamu
Melayari dunia penuh cahaya
Melayari keabadian
Aristo, belahan jiwaku
Rindu Mama, rindu yang abadi
Beristirahatlah dalam keabadian
Dalam kedamaian
Amin

*kematian merupakan jembatan menuju keabadian,
wilayah transenden dari alam pikiran,
kematian—dengan cara apapun—bukanlah suatu kerugian bagi yang ditinggalkan,
namun suatu kehormatan bagi kehidupan.
kematian bukan semata menjadi kefanaan,
karena kematian mengajarkan kita untuk menghargai kehidupan,
semoga jiwa yang terlepas dari soma, dicintai, kerena jiwa tak pernah mati...

Puisi Semua karena Aku Mau memberikan sugesti semangat kepada diri saya. Puisi ini benar-benar memotivasi. Segala hal yang dari awal sudah menjadi pilihan dan kita pilih harus mampu dipertanggungjawabkan. Membaca syair puisi ini mengingatkan saya pada film “Yes Men” yang dibintangi oleh Jim Carrey. Pesan moralnya adalah ketika kamu memilih suatu jalan hidup, kemudian kamu merasa bosan, kamu harus melihat kembali apa yang sebelumnya membuat kamu memilih jalan tersebut. Kamu harus member cinta pada pilihanmu. Berikut syair dari puisinya.

Semua karena Aku Mau
Kecintaanku pada dunia yang satu ini
Adalah kecintaan sejak aku belia
Hanya satu impianku
Kenjadi abdi bangsa
Yang setia

Semua karena aku mau menjadi seseorang
Yang dapat berguna bagi banyak orang
Mencoba berbagi dan merasakan
Mau dengan ikhlas mengabdi
Padamu anak-anak bangsa
Yang bersedia berproses
Bersedia dibentuk

Semua gara-gara aku mau.
Bagaimana jadinya kalau aku tak mau?
Pikiran sesaat ini segera kubuang jauh di dasar budiku.
Semua karena aku mau melayani, mau belajar memahami
Aku selalu merindukan tatapan penuh harap, penuh Tanya
Tatapan yang selalu menantangku untuk selalu mengasah budiku
Dengan berbagai kebijaksanaan yang mendahului mereka.

Semua karena aku mau,
Karena aku rindu,
Karena aku menyayangi
Semua karena aku mau dan
Amat merindukan mereka

Satu puisi terakhir yang menurut saya patut diapresiasi adalah puisi berjudul Kau karangan Pricilla Pascadeany Frelians. Puisi ini mempunyai kekuatan kata-kata, kedalaman makna, dan kejujuran. Kerinduan untuk dicintai. Simbol usia remaja. Berikut ini syair puisinya.

Kau
Matamu hadirkan keteduhan hati
Dikala matamu memandangi kutenang
Saat aku terdiam dalam kebimbangan

Belaianmu tegarkan diriku
Saatku tak percaya pada diri ini
Tak mampu menghadapi rintangan yang ada

Pelukanmu membuatku merasa aman
Tak pernah ingin melepaskannya
Agar kutetap aman denganmu

Genggamanmu menuntunku
Ketika ku tak tahu harus ke mana ku melangkah
Menempatkan kaki di tempat yang benar

Cintamu hidupkanku
Nyalakan kembali semangat hidup yang redup
Mengangkatku dari keterpurukan
Dan cintamu warnai hariku
Jauhkan warna kelabu dari kanvas hidupku
Cintamu buat aku bersinar


Saya pribadi mengharapkan ada lagi karya-karya serupa dari Ibu Seli. Mohon kritik dan saran ya untuk tulisan ini. :)

Read more »

Biru Yang Hilang (Boni)

Langit mulai gelap, biru yang pudar dan mulai hilang
Pertanyaan tentang esok, mungkin kau jawab esok, lusa, atau nanti
Dan hari ini, saat biru yang pudar bercerita, aku tak kuasa, sirna
Pertanyaan ku sering tertahan pada hamparan pasir senja itu, ketika bersama
Pertanyaan ku juga sering tertahan pada hujan yang menyadarkan kita, biru telah hilang...
Bukan terlelap dalam diam, bukan...
Bukan pula tertegun dalam alunan klasik alasan lama
Hanya tak ingin menyakiti dan mencintai harapan dan mimpi...
Coba terangi seperti pujangga, tapi ini nyata dalam cerita yang kita tulis...

Read more »

Sajak di Persimpangan (Boni)

Ini waktu, kita ragu, di balik persimpangan
Senyap, menyelam asa, mengurai pilihan, hilang.
Kita pernah maju, tapi ragu-ragu, sendat kita merayap
Kita pernah tertawa, tapi celaka, kita rupa anjing penjilat
Lalu kita pernah mencumbu senja, kala salju disangka api

Ini waktu, kita ragu, di balik persimpangan
Sunyi, hidup atau mati?
Masa ini kita menabur muka di fajar dan di senja
Barangkali pucat ini muka, darah dan nanah-nanah bercinta
Tuli kita, sewaktu laskar babu menjerit, minta sisa hidup
Buta kita, sewaktu pasukan anak lapar mencabik si perut besar, karena cita-citanya diludahi anjing-anjing pendidikan

Ini waktu, kita ragu, di balik persimpangan
Bangga kita berdiri, di masa mereka mencaci suara mereka sendiri
Mati saja kau, hei pembusuk
Sajak simpang, ketika negeri compang
Ini waktu, ketika kita di persimpangan

Read more »

Persimpangan (Boni)

Semilir angin berhembus perlahan menerpa seorang pemuda. Matanya menerawang ke balik senja yang mulai berganti dengan malam, pekat, hanya cahaya redup bintang yang entah mengapa malam itu bersinar malu-malu. Sang pemuda memang selalu mengunjungi pantai itu, untuk sekedar menikmati senja, walaupun ia tahu tak selamanya senja itu indah.
Dalam benaknya, terlintas selalu suara Ayahnya, tiga tahun lalu, “ Nak, mengapa kau tak punya cita-cita menjadi dokter, menjadi pilot, menjadi insinyur?, bisa lah kau mengganti rumah kita yang reot ini, menyekolahkan adik-adik mu itu”. Suara itu yang seolah menjelma menjadi sebentuk suara mengiang, tak mau pergi, berdiam di otaknya. Perlahan ingatan sang Pemuda akan masa lalu semakin nyata, barangkali pertanda, pikirannya sudah mulai menua.

###
“ Boleh kita berkenalan” ujar seorang lelaki setengah baya.
“ Oh, boleh, Dedy, om siapa?
“Jangan panggil saya om, saya seorang Pastor”, datang lah ke gereja, sering kau temui aku di sana.
Pertemuan yang singkat, tapi ternyata membekas di hati Dedy, sang Pemuda. Ia memang sudah lama tidak melihat salib, sudah lama pula tidak mendengar suara lonceng, yang dulu akrab di mata dan telinganya. Semenjak ia menganggap dirinya seperti seorang pemusnah cita-cita sang ayah, ia tak lagi pernah ke gereja, barangkali lupa dimana ia punya Tuhan.
Dedy memang menjauh dari cita-cita sang ayah, ia kini hidup merantau di negeri orang, jauh dari tanah kelahirannya. Ia ingin lari dari kenyataan, kenyataan bahwa ia hanya seorang pemuda tamatan SMA yang sama sekali tak berniat melanjutkan sekolah seperti harapan sang ayah.
Hari-hari ia lalui dengan kapal-kapal yang menjadi saudara nya, menjadi keluarganya.
“ Dedy, apa kau tak pernah ingat tanah kelahiranmu, kasihan ayah mu”, Marko mencoba memberikan pengertian.
“Aku tak ingin menambah luka di hati ayah ku”
“Lalu, apa kau terus begini, mencintai kapal-kapal barang, apa kau sudah tak punya cinta?” Marko bertindak seperti seorang saudara laki-laki yang tak ingin adik nya terlarut dalam penyesalan dan penyalahan diri.
“Aku lupa tentang cinta, yang ku tahu aku ingin hidup tanpa suara ayah ku yang terngiang di telinga, tak bisa menjauh dariku.”

Pelabuhan mulai ramai, kapal-kapal besar pengangkut barang sudah antri berdatangan. Dedy sigap bekerja, tubuhnya seperti baja, tak pernah ada lelah dalam pekerjaannya, buruh kapal.
Matahari menunjukkan kehangatan, seorang gadis sedang mondar mandir, di sudut pelabuhan.
“Apa yang kau cari, bisa kubantu?” Dedy menyapa gadis itu.
“Aku sedang menunggu ayah yang kabarnya berlabuh siang ini”
Ayah !, kata yang membuat Dedy mundur dari keinginan nya untuk berkenalan dengan gadis itu, keinginan untuk mengikuti naluri mudanya. Begitulah, Dedy menjadi pemuda yang mungkin selalu mundur dalam cinta nya. Pernah memang Dedy dekat dengan seorang gadis, namun ia dikhianati, hanya karena ia seorang pecinta kapal-kapal barang.

###

Hari ini, tiga tahun yang lalu, pikirannya melintasi nasib dan angan-angan yang entah kemana, ia tidak tahu. Hari ini genap ia berusia 26 tahun. 26 tahun penuh pergulatan dengan dirinya sendiri, lalu ia teringat perjumpaannya dengan seorang pastor setengah baya.
Dedy datang ke gereja, St. Yusuf, sudut kota.
“ Apa yang membuat kau datang?”
“ Pastor, saya bermimpi dan mimpi saya seperti nyata, Salib itu menimpa kepala ku, dan ayah ada di atasnya”
“ Berdoalah”

“ Kepada ayah yang punya angan-angan untuk ku, izinkan maaf ku ini datang…
Ayah, aku punya cerita yang mungkin membuat ayah tak lagi kecewa
enam tahun aku menjadi pecinta kapal, dan hidup untuk ku sendiri, tanpa cinta…
aku sering bergumul dengan hidupku sendiri, setiap detik ku rasa…...
“Kepada ayah yang punya angan-angan untuk ku..”

###

Seorang lelaki muda tergantung di seutas tali, tepat di bawah salib, dekat lonceng, di sekitar menara gereja. Tubuh nya kaku, hening, hanya ada suara rintik-rintik hujan. Seorang lelaki muda dengan tulisan RIP di pembaringannya, mengubur putus asa dan rasa sesal.

Read more »

Pragmatik (Boni)

1. Faktor penentu dalam berkomunikasi ada tujuh, yaitu :

a. Siapa dan dengan siapa mereka berbahasa.
Faktor pertama ini mengandung makna bahwa dalam konteks berkomunikasi, seorang pembicara haruslah memperhatikan status sosial, kedudukan, jenjang usia lawan bicaranya. Dalam hal ini setelah tahu siapa lawan bicaranya, tentulah pembicara menggunakan bahasa yang sesuai dengan lawan bicaranya, dengan pemilihan kata yang tepat pula.

b. Untuk tujuan apa mereka berbahasa.
Dalam faktor yang kedua ini, seseorang yang ingin berkomunikasi dengan orang lain haruslah mengetahui tujuan apa yang ingin dicapainya melalui komunikasi itu. Tujuan yang berbeda tentu memerlukan bahasa yang berbeda pula. Sebagai contoh, orang yang berkomunikasi dengan tujuan memperoleh informasi, tentu akan menggunakan pilihan kata yang mengarah pada pertanyaan-pertanyaan. Berbeda hal nya dengan orang yang berkomunikasi dengan tujuan untuk meyakinkan lawan bicaranya, tentu dengan bahasa yang meyakinkan pula, tidak dengan pertanyaan-pertanyaan seperti pada tujuan memperoleh informasi tadi.

c. Dalam konteks atau situasi yang bagaimana mereka berbahasa.
Pada faktor ketiga ini, konteks dan situasi yang sedang terjadi saat proses komunikasi berlangsung, hendaknya menjadi perhatian seseorang yang ingin berkomunikasi dengan orang lain. Saat situasi yang resmi, tentunya menggunakan bahasa baku yang resmi, sebaliknya saat situasi yang tidak resmi, tentunya menggunakan bahasa yang santai atau yang tidak resmi. Saat situasi yang meliabatkan beberapa orang yang berbeda latar belakang budaya, sosial, dan lain-lain, seorang pembicara hendaknya menggunakan bahasa pengantar yang lazim digunakan, agar orang dilibatkan dalam komunikasi itu mengerti.

d. Topik apa yang akan dibicarakan.
Pembicara harus mengetahui topik apa yang akan dibicarakan, agar pembicaraan bisa berjalan dengan baik. Misalnya dalam topik tentang kesehatan, tentu seorang pembicara membicarakn mengenai kesehatan, tidak membicarakan hal-hal lain.

e. Dengan jalur mana (lisan atau tulisan).
Jalur komunikasi atau ragam komunikasi yang digunakan dalam berkomunikasi dengan orang lain, menuntut pemiiihan kata, kalimat atau ragam bahasa tertentu. Komunikasi lisan menggunakan pemilihan kata yang berbeda ketika disampaikan melalui komunikasi tulis.

f. Media apa yang digunakan dalam berkomuniaksi
Penggunaan media dalam menyampaikan sesuatu kepada orang lain memerlukan pemilihan bahasa tertentu. Media telepon misalnya akan berbeda penggunaan bahasanya ketika pembicara menggunakan media surat.

g. Dalam peristiwa apa mereka berbicara
Setiap peristiwa memerlukan bahasa tertentu yang akan digunakan. Dalam upacara, tentu akan menggunakan ragam bahasa paling resmi. Dalam percakapan santai, tentu menggunakan ragam bahasa tidak formal.

2. Ragam bahasa yang berkaitan dengan pragmatik :
a. Ragam beku ( frozen), ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam situasi –situasi khidmat dan upacara-upacara resmi. Dalam bentuk tullis, terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah, seperti undang-undang dasar. Contoh ragam beku dalam upacara :“ penghormatan kepada inspektur upacara”.
b. Ragam resmi (formal), ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi rapat dinas atau rapat resmi pimpinan suatu badan. Contoh : “ Hadirin sekalian, secara resmi acara pembukaan festival musik antar perguruan tinggi ini saya buka”
c. Ragam usaha (consultative), ialah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah-sekolah, perusahaan-perusahaan dan rapat-rapat usaha yang berorientasi pada hasil. Contoh : pembicaraan di sekolah “ kalian sudah belajar anak-anak?”
d. Ragam santai (causal), ialah ragam bahasa yang biasa dipakaiu antarteman dalam
berbincang-bincang, rekreasi, berolahraga dan sebagainya. Contoh: “ Bang, apa kabar?”
e. Ragam akrab (intimate), ialah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yagn tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yagn terang tetapi cukup dengan ucapan-ucapan yang pendek-pendek. Contoh: “ dek, ambilin kopi yah?”

3. Pokok-pokok bahasan Pragmatik :
a. aspek sosialisasi

a.1 menyapa orang lain berkumpul
a.2 menyapa orang lain waktu bertemu
a.2 menyapa orang lain berpisah
b. aspek intelektual

b.1 mengungkapkan sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
b.2 ingin mengetahui sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
b.3 menyatakan kemampuan atau ketidakmampuan
b.4 mengungkapkan apakah sesuatu itu masuk akal
b.5 ingin mengetahui apakah sesuatu itu masuk akal
b.6 ingin mengetahui tentang kemampuan dan ketidakmampuan
b.7 ingin mengetahui apakah sesuatu itu pasti atau tidak pasti
b.8 ingin mengetahui sesuatu itu pasti atau tidak pasti di antara orang lain

c. aspek emosi

c.1 mengungkapkan sesuatu itu menarik atau tidak menarik
c.2 ingin mengetahui sesuatu itu menarik atau tidak menarik
c.3 mengungkapkan rasa puas
c.4 mengungkapkan rasa tidak puas
c.5 ingin mengetahui rasa puas atau tidak puas
c.6 menyatakan pilihan
c.7 ingin mengetahui rasa senang dan setuju

d. aspek informasi factual

d.1 mengidentifikasi sesuatu
d.2 melaporkan sesuatu
d.3 memperbaiki sesuatu
d.4 bertanya tentang sesuatu

e. aspek moral

e.1 minta maaf
e.2 menyatakan persetujuan
e.3 menyatakan pengungkapan apresiasi
e.4 menyatakan penyesalan

f. aspek penyelesaian sesuatu

f.1 menyatakan sesuatu pekerjaan
f.2 meminta orang lain mengerjakan sesuatu
f.3 memberikan bantuan
f.4 meminta batuan

4. Contoh percakapan ;
1. Sosialisasi
Marry : “ Hai Dina, apa kabar? Jarang kelihatan sekarang”
Dina : “ Hai juga Mar…, kabar baik, biasa lah lagi sibuk skripsi sekarang”
Marry : “ Oh ya, sebentar lagi sarjana..jangan lupa sama teman ya Din…”
Dina : “ Tenang saja Mar…aku tidak mungkin lupa dengan mu…
Marry : “ Terima kasih Din, kamu memang teman ku yang baik”
2. Intelektual
Pak RT : “ Wan, saya dengar di sekitar kampung kita ini semalam ada perampokan”
Wawan :“ Iya pak, semalam memang ada perampokan.”
Pak RT :“ Kalau begitu, apa sudah ada polisi yang datang untuk menyelidikinya?”
Wawan : “ Saya dengar dari warga, nanti sore polisi datang ke sini pak”
Pak RT : “Apakah sudah pasti? Kamu sudah menghubungi polisi?
Wawan :“Sudah pasti pak, saya dan warga yang lain sudah menghubungi polisi”
3. Emosi
Bu Guru : “ Tati, kamu masuk final lomba menulis cerpen tingkat SMA mewakili
Sekolah kita”
Tati : “ Benarkah bu ?”
Bu Guru : “ Benar Tati, kamu masuk final, Ibu puas dengan hasil kerja
keras kamu”
Tati : “ Terima kasih bu, saya tidak menyangka saya bisa masuk final”
Bu Guru : “ Iya, Ibu puas karena kamu bisa membuktikan bahwa kamu bisa”
4. Informasi Faktual
Toni : ” Pak, Bu, Toni ingin menyampaikan sesuatu kepada Bapak dan Ibu”
Bapak : “ Apa itu Ton?”
Toni : ” Tadi pagi Toni melihat Bi Inem mengambil perhiasan milik Ibu di kamar”
Bapak : “ Apa? Kalau begitu Bapak harus menemui Bi Inem untuk meminta
pertanggung jawabnnya”
5. Moral
Doni : “ Rika, mohon kau maafkan aku”
Rika : “ Apa kau sudah sadar dengan kesalahan mu?”
Doni : “ Aku sadar Rika…aku telah menduakan cinta mu”
Rika : “ Bagus kalau kau sudah sadar”
Doni :” Jadi bisakah kau memaafkan ku?”
Rika :”Iya, aku maafkan, tapi kau harus berjanji tidak akan mengulanginya “
6. Penyelesaian sesuatu
Pak Gayus :”Apa yang bisa saya bantu komandan?”
Komandan :”Kita telah diberikan tugas untuk mengamankan daerah ini”
Pak gayus :”Lalu apa yang bapak perintahkan untuk saya”?
Komandan :”Bisakah kau memimpin regu pasukan pengmanan itu?”
Pak Gayus :”Siap pak, tetapi mengpa bapak tidak memimpinnya ?”
Komandan :” Saya harus menemani istri saya melahirkan di rumah sakit”
Pak Gayus :”Siap pak, saya akan memimpin regu ini”

5. Aspek intelektual:
1 mengungkapkan sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
2 ingin mengetahui sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin
3 menyatakan kemampuan atau ketidakmampuan
4 mengungkapkan apakah sesuatu itu masuk akal
5 ingin mengetahui apakah sesuatu itu masuk akal
6 ingin mengetahui tentang kemampuan dan ketidakmampuan
7 ingin mengetahui apakah sesuatu itu pasti atau tidak pasti
8 ingin mengetahui sesuatu itu pasti atau tidak pasti di antara orang lain

Aspek emosi:

1 mengungkapkan sesuatu itu menarik atau tidak menarik
2 ingin mengetahui sesuatu itu menarik atau tidak menarik
3 mengungkapkan rasa puas
4 mengungkapkan rasa tidak puas
5 ingin mengetahui rasa puas atau tidak puas
6 menyatakan pilihan
7 ingin mengetahui rasa senang dan setuju

6. Dialog:
Ani : “ Siapa yang telah mencoret catatan di buku ku?”
Beno : “ Saya An…”
Ani : “Tega nya kamu mencoret-coret catatan ku ! mengapa kau melakukan itu?”
Beno : ”Saya tidak tahu itu buku mu”
Ani : ” Saya kecewa Beno, kau telah lama berteman dengan ku, tapi kau seperti
itu”
Beno : ” Lalu kau mau apa? Aku tidka tahu itu buku mu An…”
Ani : ” Sudah lah aku tidak akan meminjamkan buku ku kepada kau lagi”

7. Guru : ” Anak-anak, dalam keseharian kalian, tentunya kalian pernah
bertengkar dengan teman kalian. Pertengkaran itu mungkin disebabkan
oleh salah paham atau mungkin karena teman kalian jahil kepada kalian.
Bilamana kamu membuat teman mu marah, apa kamu ucapkan kepada teman mu
itu, Irvan?”
Irvan : ” Maafkan saya, Pak!”
Guru : ”Bagus, tepat Irvan !”
Seandainya kamu yang marah kepada temanmu, dan teman mu itu minta maaf
kepada kamu, apa yang kamu ucapkan kepada teman mu itu, Bambang?”
Bambang : ”Saya memaafkan mu, seperti pak!”
Guru : ”Bagus sekali Bambang!”
Sekarang giliran kamu Riko, bilamana kamu melihat Kakakmu berdandan
dengan cantik, apa yang kamu ucapkan Riko?”
Riko : ” Wah, kakak cantik sekali hari ini!”
Guru : ”Tepat sekali Riko!”
Ada yang lain lagi?”
Ana : "Ada pak!”
Guru : “Nah, coba kamu kemukakan Ana!
Ana : “Kakak terlihat begitu mempesona”
Guru : ”Benar, ucapan seperti itu juga benar. Dalam mengungkapkan perasaan
kalian, kalian tentu menggunakan ungkapan yang berbeda, namun
perlu diingat bahwa walaupun berbeda-beda, ungkapan itu harus sesuai
dengan kondisi pembicaraan kalian saat kalian berbicara dengan teman
mu, atau kakak, atau orang lain.

8. 1. Untuk Paman : “ Paman, Bony mau pulang, cepat sembuh ya Paman”
2. Untuk Guru : “Pak, saya permisi mau pulang, cepat sembuh ya Pak, agar bisa
mengajar kami lagi di sekolah, kami rindu diajarkan kembali
oleh Bapak”
3. Untuk orang tua: “Ma, banyak istirahat ya ma…aku rindu sekali sama mama, mama
harus cepat sembuh.

9. a. Ibu dan ayah senang karena adik naik kelas.
b. Kami sekeluarga senang sekali karena ayah naik pangkat.
c. Saya ikut bahagia karena engkau telah menikah.
d. Saya terpesona karena engkau memakai gaun merah ini.
e. Ibu dan ayah ikut bangga karena kamu telah berhasil menyelesaikan kuliah
dengan cepat.
f. Yani dan Tika sangat kecewa karena mereka kalah dalam pertnadingan catur.
g. Paman tidak puas dengan hasil itu karena hasil itu membuat Paman dipecat dari
perusahaan.
h. Masalah itu tidak masuk akal karena tidak mungkin ada manusia yang bisa
seperti Tuhan.

Read more »

Rabu, 02 November 2011

Puisi dan Prosa

A. Puisi
Puisi adalah sebuah karya sastra yang bahasanya dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias/imajinatif. Puisi merupakan hasil kesusasteraan yang ditulis dengan "tidak menuruti tata bahasa". Ia sebenarnya tidak terdiri daripada ayat-ayat yang lengkap, melainkan terdiri dari frasa-frasa yang disusun dalam bentuk baris-barisan. Lazimnya, puisi merupakan bahasa yang berirama dan apabila dibaca pembaca akan merasakan rentaknya. Contoh kesuasteraan puisi seperti: sajak, syair, pantun, gurindam, lirik, seloka, mantera dan sebagainya. Puisi merujuk kepada susunan / aturan ayat yang menyampaikan maksud dalam bentuk yang indah. Puisi adalah satu cabang kesenian manusia. Puisi boleh berdiri secara sendiri, dan boleh juga disulam dalam seni lain seperti drama puisi, him atau lirik.

Unsur-unsur intrisik puisi yaitu:
1. Tema
Tema yaitu pokok pikiran yang terkandung di dalam suatu puisi merupakan ide pokok yang menjiwai keseluruhan isi puisi yang mencerminkan persoalan kehidupan manusia, alam sekitar dan dunia metalisis yang diangkat penyair dari objek seninya.
1. Amanat
Amanat yaitu pesan yang ingin disampaikan penulis melalui puisinya.
2. Rima
Rima yaitu persajakan atau pola bunyi yang terdapat dalam puisi. Persajakn antarbunyi pada larik-larik puisi dinamakan rima eksternal, sedangkan persajakan bunyi-bunyi di dalam sebuah larik puisi disebut rima internal.
3. Ritme
Ritme yaitu perhentian/tekanan yang teratur.
4. Irama
Irama yaitu turun naik intonasi secara beraturan. Irama memiliki daya tarik dan kemampuan memberikan kesenangan kepada manusia. Yang dimaksud dengan irama dalam bahasa ialah pengulangan waktu dan pola tekanan yang terjadi secara teratur. Fungsi unsur irama/musikalitas dalam puisi adalah menguatkan keindahan puisi, memberi jiwa pada kata-kata dan membangkitkan emosi (kepuasan estetik).
5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yaitu cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau daya tarik atau sekaligus kedua-duanya bertambah.
6. Diksi
Diksi yaitu pilihan kata yang dipergunakan penyair dalam membangun puisinya.
7. Citraan (pengimajian)
Citraan adalah gambaran angan (abstrak) yang dihadirkan menjadi sesuatu yang konkrit dalam tetanan kata-kata puisi.
8. Korespondensi
Korespondensi yaitu hubungan yang padu antarlarik-larik dalam bait, antarbait ang diikat oleh tema dalam suatu kesatuan logis.
9. Repitisi (ulangan)
Dalam puisi ibarat refein dalam musik, menghasilkan musikalitas. Hal-hal yang dapat diberi perulangan bisa saja mnengenai perulangan piukiran, persajakan, perlambangan dan lain-lain. Meskipun diulang-ulang bagian-bagian tersebut tidaklah membosankan karena ada fungsinya.

Unsur-unsur ekstrinsik puisi, yaitu:
1. Permasalahan hidup
Banyak sekali sekarang ini permasalahan hidup yang terjadi di dalam kehidupan kita. Dari semua permasalahan yang terjadi itu pengarang dapat menjadikannya inspirasi untuk menulis sebuah karya sastra.
2. Pengalaman
Pengarang biasanya menulis sebuah karya sastra berdasarkan pengalaman pribadinya. Semakin banyak pengalaman seseorang maka semakin banyak pula inspirasi yang diperoleh.
3. Latar belakang pengarang
Setiap pengarang tentu memiliki latar belakang yang berbeda. Oleh sebab itu, setiap karya sastra memiliki ciri khas tersendiri sesuai kepribadian pengarangnya.

B. Prosa
Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang". Jadi, prosa adalah karangan bebas yang mengekpresikan pengalaman batin pengarang mengenai masalah kehidupan secara terus terang dalam bentuk dan isi yang harmonis yang menimbulkan kesan estetik.
Prosa merujuk kepada hasil kesusteraan yang ditulis dalam ayat-ayat biasa, yakni dengan menggunakan tata bahasa mudah. Biasanya ayat-ayat dalam kesusasteraan akan disusun dalam bentuk karangan. Prosa adalah satu bentuk kesusasteraan yang lebih mudah difahami berbanding dengan puisi. Contoh bagi kesusasteraan prosa ialah: cerpen, novel, skrip drama, essei dan sebagainya. Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.

Unsur-unsur intrinsik prosa:
1. Tema
Ide sentral yang mendasari suatu cerita.
Fungsi tema:
- Sebagai pedoman bagi pengarang dalam menggarap cerita,
- Sasaran/tujuan penggarapan cerita, dan
- Mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam suatu alur.
2. Amanat
Di sini dapat diartikan pesan berupa ide, gagasan, ajaran moral, dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan pengarang lewat cerita. Amanat pengarang ini terdapat secara implisit dan eksplisit di dalam karya sastra. Implisit misalnya disiratkan dalam tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Eksplisit, bila dalam tengah atau akhir cerita pengarang menyampaikan pesan-pesan, saran, nasehat, pemikiran, dan sebagainya.
3. Alur atau Plot
Rangkaian peristiwa-peristiwa cerita yang disusun secara logis dan kasualitas.
4. Perwatakan atau Penokohan
Pelukisan tokoh atau pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita.
5. Sudut Pandang
Tempat pengarang di dalam cerita yang mengisahkan ceritanya.
6. Latar atau Setting
Situasi, tempat, ruang, dan waktu terjadinya cerita.
7. Gaya Bahasa
Bahasa merupakan media yang digunakan pengarang untuk mengekspresikan pengalaman batin dan memproyeksikan kepribadiannya, sehingga karya sastra memiliki ciri-ciri yang personal.

Unsur ekstrinsik :
1. Permasalahan kehidupan
Hal-hal yang biasanya terjadi dalam hidup dapat diangkat menjadi sebuah karya sastra.
2. Falsafah
Pandangan hidup dapat menjadi dasar dalam membut prosa.
3. Cita-cita
Cita-cita pengarang yang tinggi itu dapat saja ia wujudkan dalam sebuah karya sastra.
4. Latar budaya yang menumpang kisah cerita.
Adat istiadat tempat pengarang tinggal.
5. Nilai moral
Nilai moral merupakan unsut penting yang wajib dimasukkan pengarang dalam sebuah karyanya karena mengandung pesan penting yang hendak disampaikan kepada pembaca.

Read more »

Contoh Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

A.Identitas
Nama Sekolah : SMK...
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas, Semester : X
Standar Kompetensi : Berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia setara tingkat Semenjana
Kompetensi Dasar : Menyimak untuk memahami informasi lisan dalam konteks bermasyarakat
Indikator :
1. Sumber informasi sesuai dengan wacana diidentifikasi.
2. Isi pokok informasi dan uraian lisan yang bersifat faktual, spesifik, dan rinci dicatat.
Alokasi Waktu : 2x45 menit (satu kali pertemuan)

B. Tujuan Pembelajaran
a. Siswa dapat memahami sumber informasi sesuai dengan wacana yang teridentifikasi.
b. Siswa dapat mencatat isi pokok informasi dan uraian lisan yang bersifat faktual, spesifik, dan rinci.
C. Materi Pembelajaran
a. Ciri-ciri sumber informasi dan yang bukan.
b. Pemilihan sumber informasi yang didengar.
c. Perbedaan fakta dan bukan fakta, yang umum dan yang spesifik, pemerian dan yang bukan.
d. Pembuatan catatan yang bersifat faktual, spesifik, dan rinci berdasarkan informasi yang didengar.
D. Metode Pembelajaran
a. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran langsung.
b. Metode yang digunakan adalah tanya jawab dan inquiri.

E. Kegiatan Pembelajaran
a. Kegiatan Awal (15 menit)
1. Apersepsi: Guru mengingatkan kembali mengenai materi sebelumnya tentang penggunaan bahasa baku dan hubungannya dengan pemahaman terhadap sumber informasi.
2. Motivasi: Guru memaparkan pentingnya untuk memahami dan mencatat isi sumber informasi yang bersifat faktual, spesifik dan rinci karena berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari terutama dari media massa.
3. Introduksi: Guru memperkenalkan secara lebih dalam materi pembelajaran berdasarkan indikator kepada siswa.
b. Kegiatan Inti (65 menit)
1. Kognitif: Guru menjelaskan secara terperinci materi pembelajaran kepada siswa.
2. Afektif: Setelah menjelaskan materi, guru memberikan latihan soal. Diharapkan dengan latihan soal siswa dapat lebih memahami materi pembelajaran yang disampaikan.
3. Psikomotor: Guru memberikan latihan soal kepada siswa sebagai pendalaman terhadap materi.
c. Kegiatan Penutup (10 menit)
1. Guru mengarahkan peserta didik untuk membuat rangkuman/simpulan.
2. Siswa dan guru merefleksikan pelajaran yang baru berlangsung.
3. Guru memberikan evaluasi terhadap proses pembelajaran.

F. Sumber Belajar
Irman, Mokhamad dkk. 2008. Bahasa Indonesia 1: Untuk SMK/MK semua program keahlian. Jakarta: DPN.
Modul Bahasa Indonesia Tingkat Semenjana.

G. Penilaian
a. Penilaian Awal
Tes Lisan
b. Penilaian Akhir
Tes Tulis
c. Instrumen Penilaian
d. Pedoman Penskoran
Rubrik penilaian :-
Nama kelompok :-
Kelas : X B

Soal
1. Sebutkan jenis-jenis sumber informasi!
2. Sebutkan contoh bentuk informasi yang tergolong media cetak, sebanyak 5 buah!
3. Buatlah contoh uraian berisi fakta khusus!
4. Buatlah contoh uraian berisi opini atau konsep!
5. Buatlah contoh uraian yang bersifat pemerian berupa satuan kalimat atau bagian!

Kunci Jawaban

1. Informasi bersifat faktual, informasi bersifat opini atau konsep, dan informasi bersifat pemerian/perincian.
2. Informasi yang tergolong media catak:
- kamus
- buku ilmu pengetahuan
- buku pelajaran
- ensiklopedia
- teks atau naskah

3. FR, mahasiswa yang namanya pernah melambung karena kakinya ditembak polisi saat berdemonstrasi memperingati satu tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada 20 Oktober lalu, kini kembali berurusan dengan polisi.
4. Penemuan ini, menurut Michael J Ryan, mengisi kekosongan 20 juta tahun antara temuan fosil di Asia dan kemunculan pertama di Amerika Utara.
5. Untuk keperluan menulis, Anton harus menyeddiakan, pulpen, buku, dan alat tulis lainnya.

Nilai siswa diperoleh dgn rumus sbb:

Nilai = Skor perolehan x 100
Skor maksimal


Mengetahui Mahasiswa PPL

(GURU PAMONG)

Read more »

Jumat, 28 Oktober 2011

Mata Najwa Episode "Manifesto Pemuda" (Kamis, 27 Okt. 2011)

Pemuda adalah sang kala. Kala zaman yang dahaga menuntut mereka angkat suara juga angkat senjata. Mereka ikrar kata bertumpah darah bangsa dan bahasa. Padahal Indonesia masih jauh dari merdeka. Pemuda-pemudi api revolusi. Ia mendobrak menjebol stagnasi lewat panasnya diskusi dan seribu aksi. Ia arsitek perubahan saat bangsanya di ambang kesusahan.
"Ada rekayasa besar bagaimana Sumpah Pemuda itu dimistifikasi, dimitologisasi untuk memberikan rasa persatuan"
"Tidak ada kata sumpah dalam Sumpah Pemuda.Tidak pernah ada upacara dalam kongres itu" @JJRizal
"Moh.Yamin orang yang memainkan peranan sentral untuk menumbuhkan perasaan ke-Indonesiaan yang lebih mantap dan kuat" @JJRizal
"Soekarno tidak datang dlm Kongres Sumpah Pemuda, namun Ia mengirimkan delegasi utk menunjukan atensinya" @JJRizal
"Sosok Moh.Yamin ini sbg manusia buku karena gagasan-gagasannya tentang Indonesia bermula dari pergaulannya dangan 20-ribuan buku" -Bandung Mawardi
"W.R. Supratman adalah seorang pecinta. Lelaki yang sering kasmaran tetapi selalu patah hati" -Bandung Mawardi
"Lagu dalam peristiwa politik selalu ada. Sejarah politik kita sebenarnya juga sejarah lagu" -Bandung Mawardi
"Indonesia lahir dari narasi ketika ada seorang intelektual menggumuli berbagai buku dalam berbagai bahasa yakni Moh.Yamin" -Bandung Mawardi
"Diperlukan satu bahasa yang bisa dipergunakan untuk mempersatukan bangsa" -Abdul Chaer
"Persatuan bahasa Indonesia dan Malaysia melalui ejaan saat itu tidak bisa terjadi karena adanya konfrontasi" -Abdul Chaer
"Kongres Pemuda itu adalah sesuatu yang tidak penting dalam sejarah" -Ichwan Azhari
"Apa yang dicita-citakan Sumpah Pemuda itu sudah ada" -Ichwan Azhari
"Kongres Pemuda dimanfaatkan sebagai politik jangka pendek dan pengagungan diri" -Ichwan Azhari
"Kongres yg sebenarnya biasa-biasa saja,seolah-olah dikramatisasikan karena sebenarnya tidak ada kata sumpah di dalamnya" -Ichwan Azhari
Catatan:
1. Cerita pemuda hanyalah catatan kaki dalam sejarah Indonesia
2. Peranan diperkecil oleh bapakisme yang sengaja membuatnya kerdil
3. Bahasa Indonesia Manifesto politik pemuda yang tak ada bandingannya
4. Indonesia Raya berkumandang tak lebih dari sebuah komunitas terbayang
5. Karena sekumpulan orang bercita-cita sama merdeka bernaung di bawah langit
6. Pemuda datang tanpa nama. Mendobrak kuldesak jalan buntu agara zaman bergerak maju
7. Lalu Ia pergi tanpa berharap puji
8. Wahai pemudi izinkan saya bertanya apakah Anda benar-benar yakin Indonesia kini sudah merdeka?
Narasumber Mata Najwa @JJRizal, Bandung Mawardi, Abdul Chaer, dan Ichwan Azhari

Read more »

Kamis, 27 Oktober 2011

Tinjauan Sejarah Perkembangan Sastera di Indonesia





Kepulauan Nusantara yang terletak di antara dua benua dan di antara dua samudra, yaitu Benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Hindia (yang sekrang disebut Samudra Indonesia) dan Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejrah, kebudayaan, adat-istiadat, dan bahasa sendiri-sendiri.

Abad yang silam di beberapa tempat di kepulauan Nusantara berdiri kerarajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit dan Pajajaran (Jawa), Sriwijaya (Sumatra, serta Malaka dan Pasai (Semenanjung). Pada abad yang silam kerajaan-kerajaan itu memililki pengaruh yang cemerlang di seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sampai daratan Asia. 

Namun, pada abad ke-16 dan 17 kerajaan-kerajaan itu satu demi satu menjadi daerah jajahan bangsa Eropa yang pada mulanya datang untuk mencari rempah-rempah, seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda. Filipina jatuh ke tangan orang Spanyol. Semenanjung Malaka akhir abad ke-17 jatuh ke tangan orang Inggris. Sedangkan kepulauan yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia jatuh pula ke tangan orang Belanda. Beberapa kerajan yang masih berdaulat, setapak demi setapak ditaklukan orang Belanda. Dan pada awal abad ke-20 dengan berakhirnya Perang Aceh, seluruh kepulauan Nusantara semuanya menjadi daerah taklukan Kerajan Belanda.

Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.

Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.

Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, yang mengaku:

Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indoesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Kalau dicermati, tampak dengan jelas yang dimaksudkan dengan "Indonesia" oleh sumpah itu melingkupi seruluh wilayah yang pada masa itu dikenal sebagai Nederlandsch Indie, yaitu wilayah Hindia yang dijajah oleh Belanda.

Politik Belanda dalam menjajah sangat keras. Mereka melakukan segala cara dan paksa untuk mengangkut kekayaan daerah jajahannya. Baru pada awal abad ke-20, poltik Belanda agak lunak, yaitu sebagai reaksi terhadap politik cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah sangat merusak kehidupan kaum bumi putra. Dan sebagai gantinya dianutlah politik etis atau etische politiek.

Politik etis dalam kenyataannya tidaklah mengurangi ketamakan penjajah dalam mengeksploitaasi daerah jajahanya, tetapi sebagai "balas jasa" mereka mulai memperhatikan nasib anak negri. Kemungkinan untuk bersekolah, untuk mendapatkan pendidikan, untuk maju bagi orang-orang bumi putera mulai agak leluasa.

Dan sebagai reaksi terhadap perkembangan itu, para pemimpin nasional Indonesia seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun kian giat memperjuangkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa nasional. Terutama Soekarno telah membuat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang hidup, lincah, lentuk, dan populer.
 
Perkembangan Sastra
Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar.

Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.

Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi (1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849).

Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin erat.

Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan Belanda.

Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.

Sejarah Sastra Indonesia
Beberapa penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan-persamaan yang dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah sastra Indnesia, kalau diteliti lebih lanjut akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang mencolok baik istilah maupun konsepsinya.
alam ikhtisar ini akan diikuti pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:

I.    MASA KELAHIRAN (1900-1945) yang dapat dibagi menjadi:
1.   Periode awal hingga 1933;
2.   Periode 1933-1942;
3.   Periode 1942-45.
II. MASA PERKEMBANGAN (1945-sekarang) meliputi:
1.   Periode 1945-1953;
2.   Periode 1953-1961; dan
3.   Periode 1961- sekarang.

Dalam pembabakan ini digunaan istilah "periodisasi" dan bukan "angkatan" karena angkatan dalam sastra Indonesia telah menimbulkan berbagai kekacauan. Pembedaan antara periode yang satu dengan periode yang lain berdasarkan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman. Sedangkan pembedaan antara angkatan yang satu dengan yang lain sering ditekankan pada adanya perbedaan konsepsi masing-masing angkatan. Dalam satu periode mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yang mempunyai konsepsi yang berbeda-beda; sedangkan munculnya periode baru tidak pula usah berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi yang baru. Perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman mungkin menimbukan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan suatu konsepsi sastra baru yang dirumuskan oleh seseorang atau sekelompok sastrawan.

PRIODE 1900-1933
”Bacaan Liar” dan Commissie Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka)
Pada tahun 1848 Pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dan Raja mempergunakan uang sebanyak f25.000 untuk keperluan sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak-anak untuk putera.

Dengan didirikanya sekolah banyak orang yang mempunyai kegemaran membaca dan menulis, sehinga timbulah orang yang berbakat yang mulai menulis berbagai rupa-rupa karangan. Surat-surat kabar dicetak baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa Melayu yang tersebar di Melayu, Jakarta dan kota yang lain.

Pada abar ke- 19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (1882), dan di Jakarta terbit Bianglala (1867).

Kemudian tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat Sastra. Awal abad 20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung yang berbentuk Roman. Yang sangat menarik ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis H.Moekti. Disamping itu pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo (1875-1916) menulis dua buah cerita roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana (1912).

Pengarang lain yang produktif adalah seorang wartawan bernama Mas Marco Martodikromo, kemudian terbit beberapa buah roman yaitu Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka  (1924) Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh pemerintah karena mereka berpaham kiri yang sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, maka karangan-karangan itu disebut “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.

Peranakan Indo menulis cerita misalnya G.Francis yang menulis kisah Nyai Dasima (1896). Kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker (1820-1887) yang artinya “Aku Telah Banyak Menderita”. Ia menjadi pegawai pemerintah jajahan di Indonesia. Pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berubah menjadi kantor Bacaan Rakyat (Kantoor Voor de Volkstectuur) pada tahun 1917 atau Balai Pustaka.

Pada tahun terbit roman pertama dalam Bahasa Sunda karangan D.K. Ardiwinata (1866-1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda). Pada tahun 1918 terbitlah cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.

Sajak-sajak Yamin dan Rustam Effendi
Dalam majalah Jong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai dengan Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Antara tahun 1920-1922 Yamin banyak menulis sajak-sajak lirika. Kebanyakan berupa pujian-pujian terhadap tanah air dan bahasa bundanya sebuah sejarahnya yang berjudul “Bahasa Bangsa”melukiskan perasaannya tentang “Tiada bahasa, bangsa pun hilang”.

Pada tahun 1922, sajak Tanah Air yang semula terdiri dari tiga bait dan dimuat dalam Jong Sumatra 1920 itu, kemudian diterbitkan bersama tambahannya menjadi sebuah buku kecil. Judulnya Tanah Air juga, dipersembahkan penyairnya untuk menyonsong peringatan 5 tahun berdirinya perkumpulan “Jong Sumatra Bond”.

M. Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Selain menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatar belakang sejarah, antara Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata ……….. (1932).

Penyair yang sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (1902). Roestam Effendi menulis dua buah buku yaitu Bebasari (1924) dan Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama bersajak mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari cengkraman keserakahan raksasa. Drama ini merupakan sebuah perlambang/simbolik dari cita-cita pengarangnya. Agaknya jelas dari judulnya yang mengandung perkataan “bebas” maksud dari kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda merupakan perlambang tanah air yang berada di tangan penjajah.

Dari segi sejarah sastra Indonesia, buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak. Bukunya yang lain, Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.

BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair,
bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.
Sarat-sarat saya mungkiri,
untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.

Namun ada juga sajak yang menggambarkan sikap penyair melihat bangsanya yang berada dalam cengkaraman penjajah, misalnya dalam sajak yang berjudul “Mengeluh”. Di dalam sajak ini penyair Roestam Effendi menyajikan perjuangan bangsanya merebut kemerdekaan.
 
MENGELUH
I
Bukan beta berpijak bunga,
melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disimbur sukar,
bermandi darah, dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
berharta bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuh gaduh,
membobos masuk menyayu kalbu.
Ba’mana boleh berkata beta,
suara sebat, sedanan rusuh,
menghimpit madah, gubahan cintaku.
II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari yang lemah lembut,
Ditanai sayap kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang kita benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sya’irku.
Di situlah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.

Balai Pustaka dan Roman-romannya
Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar merupakan kritik tak langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Roman ini merupakan roman pertama tentang kawin paksa, dan buah tangan M. Kasim yaitu Muda Teruna (1922) yang berupa hikayat.

Roman Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, telah berhasil mengeluarkan kritik terhadap berbagai keburukan adat kuno yang berkenaan dengan perkawinan. Kemudian baru tiga puluh tahun Marah Rusli menghasilkan karya La Hami (1952) dan Anak Kemerdekaan. Ketika ia meninggal, masih ada subuah naskan roman yang belum diterbitkan berjudul Memang Jodoh.

Pengarang lain yang menentang adat kuno mengenai perkawinan dalam roman-romannya ialah Adinogoro nama samaran Djamaludin (1904-1966) yang menulis dua buah buah roman berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Kedua roman itu tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuno dalam membela haknya memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu.

Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalm pernikahan anaknya terdapat pula dalam roman lain terbitan Balai Pustaka misalnya roman berjudul Karam Dalam Gelombang Percintaan (1926) buah tangan Kedjora, Pertemuan (1927) buah tangan Abas Soetan Pamoentjak, Salah Pilih (1928) karangan Nur Sutan Iskandar, Cinta yang Membawa Maut (1926) karangan Abd. Ager dan Nursinah Iskandar.

Kisah percintaan yang tokoh-tokohnya terdiri dari para pemuda yang telah mengecap pendidikan sekolah merupakan tema yang disukai benar oleh umumnya para pengarang masa itu, seperti dapat dita baca dalam roman-roman Jeumpa Aceh (1928) bukan tangan H.M. Zainuddin. Tak Disangka (1929) karangan Tulis Sutan Sati, Tak Putus Dirundung Malang (1929) karangan Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain.

Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun dua puluhan ialah Salah Asuhan (1928) buah tangan lebih realistis. Yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang menjadi masalah bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan Indische Partij (tahun belasan) ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk ke dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.

Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam syari’at Islam pernah mendapat hukuman dari pemerintah jajahan Balanda. Ia seorang Minangkabau yang pergi merantau untuk berlayar ke Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup di tanah Priangan sampai meninggal. Kecuali menulis Salah Asuhan, ia pun menulis Pertemuan Jodoh (1933), juga roman percintaan yang bertendensi sosial. Sehabis perang menulis roman berdasarkan sejarah yakni Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi Salah Asuhan nilainya.

Halnya dengan Sanusi Pane (1905-1968), bukunya pertama berupa kumpulan prosa lirik berjudul “Pancaran Cinta” (1926), kemudian disusul oleh kumpulan sajak Puspa Mega (1927. sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir seluruhnya berbentuk soneta. Bentuk puisi Italia yang pertama kali digunakan oleh Muhammad Yamon ini memang sangat banyak persamaannya dengan pantun. Soneta terdiri dari 14 baris yang umumnya dua bait pertama (octavo) berupa empat seuntai dan 2 bait terakhir (sextet) tiga seuntai.
Hal itu akan nyata sekali dalam salah sebuah soneta yang terdapat dalam Puspa Mega Sanusi Pane sebagai berikut :

TEJDA
Lihat langit sebelah barat
Lautan warna dibuat teja,
Berkilau-kilau dari darat
Ke cakrawala bayangan mega
Makin lama muram cahaya;
Awan kelabu, perlahan melayang,
Melayang, melayang entah ke mana,
Laksana mimpi ia menghilang.
Keluh kesah menurut awan,
Setelah menyala sebentar saja,
Pergi perlahan bermuram durja,
Hatiku menangis dipalu rawan,
Mengenang ba’gia musnah terus,
Setelah bermegah baru sejurus.

Konsepsi ini kemudian diperbaiki lagi dalam sajak yang juga berjudul sajak, yang dimuat dalam kumpulan sajaknya yang terakhir yaitu Madah Kelana (1931). Dalam sajaknya ini ia telah mengubah pandangan tentang sajak dan kepujanggaan

Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melawat ke negeri India yang sangat dikaguminya dan sajak Madah Kelana. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Keluh, Do’a banyak bercerita tantang cintanya.

Dapat kau memberitahukan daku.
Di mana gerang tempat bagia,
Di mana damai tidak terganggu.
Dimana jiwa bersuka ria?

Perhatian yang besar kepada sejarah tampak pula pada drama yang ditulisnya. Dari lima buah drama yang ditulisnya, empat adalah berdasarkan sejarah Jawa, dua diantara yang empat itu ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930). Yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sandhakala ning Majapahit (1933). Drama yang terakhir ditulisnya berjudul Manusia Baru (1940).

Pada tahun 1932-1933 ia memimpin majalah Timboel edisi bahasa Indonesia. Perhatiannya kepada sejarah menyebabkan ia menulis buku sejarah Indonesia (1942) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952). Ia juga menerjemahkan Arjuna Wiwaha (1948) dari bahasa Kawi dan menyusun Bungarampai dari Hikayat Lama (1946).

Para Pengarang Balai Pustaka (1900-1942)
1.   Nur Sutan Iskandar (lahir di Maninjau 1893)
a.   Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922)
b.   Cinta yang Membawa Maut (1926)
c.   Salah Pilih (1928). Roman ini mengupas tentang keburukan perkawinan Asri dan Sarinah.
d.   Karena Mertua (1932). Roman ini melukiskan kehidupan rumah tangga yang terlalu dirong-rong oleh pihak mertua sehingga mengalami berbagai krisis.
e.   Tuba Dibalas dengan Susu (1933) yang diambil dari naskah Asmaradewi, mengisahkan kesabaran seorang lelaki yang senantiasa dihinakan oleh pihak perempuan.
f.    Hulu Balang Raja (1934) yang merupakan roman sejarah yang didasarkan pada sebuah disertasi H. Kroeskamp De Westkust en Minangkabau (1665-1668) (partai Barat dan Minangkabau 1665-1668 terbit 1931).
Masih banyak roman atau karya Nur Sutan Iskandar yang terbit setelah tahun 1933. misalnya Katak Hendak Jadi Lembu (1935), Neraka Dunia (1937), Dewi Rimba (1935), Cinta dan Kewajiban (1941), dan lain-lain.

2.   I Gusti Njoman Pandji Tisna
a.   Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) yang melukiskan kebengisan masyarakat feodal di Bali.
b.   Sukreni Gadis Bali (1936) yang melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan kejam.
c.   I Swasta Setahun di Bedahulu (1938) yang melukiskan masalah hukum karma, yang merupakan lntrik Keraton dan berbagai kebiasaan raja-raja. Didalamnya menggambarkan kutuk dewata yang harus ditanggung oleh keturunan yang bersangkutan
d.   Dewi Karana (1938) diterbitkan di Medan.
e.   I Made Widiadi (kembali kepada Tuhan) 1954), dikarang penulisnya setelah memeluk agama Islam.

3.   Tulis Sutan Sati (1928)
Ia menerbitakan buku sejak 1920, yaitu sebuah roman berjudul Sengsara Membawa Nikmat yang menceritakan tentang masalah adat dan kawin paksa masih menjadi tema yang utama dalam karangan Tulis Sutan Sati yang pertama. Kemudian ia menerjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thalib yang bergelar St. Pamuntjak dalam bahasa Minangkaau ke dalam bahasa Indonesia. Syair yang ditulisnya berjudul syair Siti Marhumah yang Saleh (1930), syair Rosina (1933). Roman yang ditulis adalah Tak Disangka (1925), Memutuskan Pertalian (1932) dan Tidak Membalas Guna (1932).

4.   Paulus Supit (1932)
Ia berasal dari Menado. Menulis roman tentang perjuangan sebuah keluarga yang taat beragama dalam menghadapi berbagai ranjau kehidupan. Seperti Kasih Ibu (1932).

5.   Aman Dt. Madjoindo (lahir pada tahun 1896)
Karya-karyanya berupa roman yaitu Menebur Dosa (1932) dan Si Cebol Rindukan Bulan (1934). Buku berupa syair antaranya yang brejudul syair si Banso (Gadis Durhaka) terbit tahun 1931, Syair Gul Bakawali (1936).

6.   Sunan Hasibunan atau yang lebih terkenal sebagai Suman Hs. (lahir di Bengkalis tahun 1904).
Karya-karyanya antara lain roman Kasih Tak Terlarai (1929), Percobaan Setia (1931), Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Adapun cerpen buah karyanya adalah Kawan Bergelut (1938). Diluar Balai Pustaka, Suman Hasibuan menerbitkan sebuah roman berjudul Tebusan Darah (1939).

7.   Habib St. Maharadja
Karyanya adalah Nasib (1932). Berlainan dengan roman-roman pada zaman itu yang kebanyakan berputar sekitar kawin paksa dan berbagai adat kebiasaan buruk dilingkungan seorang pemuda Minangkabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda di sana, tetapi ketika kemudian mereka kembali ke tanah air, lalu bercerai. Kemudian ia menikah lagi dengan gadis sebangsanya dan keduanya berjanji akan mengabdi kepada bangsa dan tanah airnya.

8. Haji Said Daeng Muntu yang biasa memakai nama H.S.D Muntu ialah seorang pemimpin Muhammadiyah di Sulawesi. Roman-romannya antara lain :
a.   Pembalasan (1935), merupakan roman sejarah yang terjadi di daerah Goa ketika daerah itu mulai dikuasai oleh Belanda, menceritakan sekitar pengkhianatan seorang seorang pembantu yang mendapat kepercayaan dari tuannya.
b.   Karena Kerendahan Budi (1941), mempermasalahkan persoalan sosial dan pendidikan modern.

9.   Soetomo Djauhar Arifin (lahir di Madiun 1916 dan meninggal di Jakarta 1959). Romannya berjudul Ardang Teruna (1941), merupakan roman nyanyian kemenangan kaum muda terhadap kaum kolot.

Para Pengarang Wanita
1.   Sariamin yang biasa terkenal dengan nama Selasih atau Seleguri menulis di Talu, Sumatra Barat 1909. Ia menulis dua buah roman yaitu :
a.   Kalau Tak Untung (1933), melukiskan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak kecil, sama-sama sekolah dan sama pula hidup dalam tak berkecukupan.
b.   Pengaruh Keadaan (1937), mengisahkan kesengsaraan dan kemalangan seorang gadis yang bernama Yusnani, yang hidup dalam tekanan ibu tirinya, sehingga ia kehilangan kepercayaan akan dirinya sendiri.

2.   Hamdah yang merupakan samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang berasal dari Palembang. Karyanya hanya sebuah saja yaitu Kehilangan Mestika (1935). Roman ini menceritakan kemalangan seorang gadis yang kehilangan ayah, kemudian kehilangan kekasihnya.

3.  Aldin Affandi dan Sa’adah Alun (1898-1968), masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya 1941). Sa’adah Alim menulis cerpen yang dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Kemudian ia menerjemahkan Angin Timur Angin Barat. Karya pengarang wanita kebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel tahun 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).
4.   Marra Amin (dilahirkan di Bengkulu 1920), ia menulis sajak-sajak dalam majalah ‘Poejangga Baroe’. Peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumumkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.

Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poeskaka dan lain-lain tahun dua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah pendek yang sifatnya lelucon-hiburan. Cerita-cerita itu mengingatkan kita akan tokoh-tokoh cerita rakyat lama yang terdapat diseluruh Indonesia seperti si Kabayan, si Lebai Malang, Jaka Dolok dan lain-lain.

Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka. Cerita-cerita yang lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, dibukukan dengan judul Teman Duduk. Roman pertama yang dikarang M. Kasim ialah Muda Teruna (1922), Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (si Samin) (1924).

Cerpen-cerpen Suman Hs. yang dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Kumpulan itu berjudul Kawan Bergelut (1938). Judul cerpen-cerpen Suman Hs., diantaranya :
1.   Pantai jatuh, yang menyindir orang yang suka sombong
2.   Fatwa Membawa Kecewa, menyindir orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah.
3.   Kelakar si Bogor, menyindir orang-orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh seorang yang buta huruf.

Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen menjadi bahan yang produktif buat Jaji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau) yang dikumpulkan dalam Lembah Kehidupan (1941).

Cerpen “Inyik Utih”, yang berhasil yaitu melukiskan kesepian dan impian seorang gadis yang sampai rambutnya putih belum bersuami. Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan Taman Penghibur Hati (1941).

Penulis cerpen yang lebih sungguh-sungguh adalah Armijn Pane. Cerpen-cerpennya banyak dimuat dalam majalah Poejangga Baroe, diantaranya yang berjudul “Belenggu”. Dalam cerpen “Tujuan Hidup” ia mencoba melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru dan memilih hidup menyendiri.

Cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang dan sesudah perang dikumpul-kan dan diterbitkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953).

Drama
Dalam penulisan drama, Roestam Effendi telah menulis drama-sajak berjudul Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara Sudah Berkata …… (1932) dan Ken Arok dan Ken Dedes (1934).
Sanusi Pane menulis Kertajaya dan Sandhayakala ning Majapahit. Dalam Bahasa Belanda ialah Airlangga dan Eenzame Garoedavlucht. Umumnya drama itu berbentuk closed drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan.

Armijn Pane dalam drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup zamannya. Berdasarkan cerpennya “Barang Tiada Berharga” ia membuat drama “Lukisan Masa”. Dramanya yang lain “Jinak-jinak Merpati”, juga melukiskan kehidupan zamannya sendiri.
Menjelang Jepang datang, terbit pula pada Balai pustaka dua buah buku drama buah tangan Sa’adah Alim dan Affandi. Buah tangan Sa’adah Alim berjudul Pembalasannya (1940) dan buah tangan Affandi berjudul Gadir Modern (1941).

Penyair dari Sumatra
1.   A. Hasjmy atau M. Alie Hasjiem (lahir di Seulimeum Aceh 1914).
Sebagai anggota Poejangga Baroe. Tahun 1936 ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Kisah Serang Pengembara, disusul Dewan Sajak (1940). Kisah Seorang Pengembara memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbentuk soneta dan empat seuntai yang menisahkan pengembaraan seorang pemuda.
Kumpulan sajak Dewan Sajak terbagi dalam tujuh bagian yaitu : Firdaus, Airmata, Karangan Bunga, Kiasan Alam, Dendangan Bunda, Buatan Mimpi, dan Taman Muda.
Sajak-sajak yang berserakan pada masa sesudah perang dibukukan bersama beberapa buah cerpen dengan judul Asmara dalam Pelukan Pelangi (1963).

2.   Surapaty, nama samaran M. Saleh Umar
Sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari sajak A. Hasjmy. Sajak dengan judul Indonesia Baru (1941) yang “Dipersembahkan Kepada Angkatan Muda”. Sajak-sajaknya tidak meyakinkan karena tidak ada penghayatan. Sesudah perang ada kumpulan sajak yang terbit yaitu Diriku Ta’ Ada (1949).

3.   H.R. Badaharo, nama samaran Banda Harahap (lahir di Medan 1971)
Bukunya Sarinah dan Aku (1940). Ia membuat perlambang pertemuannya dengan tanah air terjajah yang diperumpamakannya dengan seorang wanita yang berada di bawah cengkraman orang. Sedangkan dirinya hina tak dapat berbuat apa-apa.
Bagian lain dari kumpulan sajak ini merupakan ratapan penyair terhadap kekasih yang pergi meninggalkannya. Bandaharo aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan berhasil menerbitkan bebrapa kumpulan sajak di antaranya Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah (1963).

4.   Rifa’i `Ali (lahir di Padang Panjang 1909).
Ia menerbitkan Kata Hati (1941). Penyair ini banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan kepercayaan agama yang dipeluknya, agama Islam. Salah satu sajaknya berbunyi :

Basmallah
Dengan bismillah disambut bidan
Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti
Ia pun menerjemahkan ke dalam bentuk puisi beberapa surah Al-Qur’an, yaitu surah Al
Ikhlas menjadi Maha Tunggal, surah Al-Asri menjadi Waktu dan surat An-Nasri menjadi
Bersyukurlah.

5.   Or. Mandank
Adalah seorang penyair Islam yang menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya. Nama sebenarnya adalah Oemar gelar Datuk Radjo Mandonk dilahirkan di Kota Panjang, Suliki, 1 Januari 1913. Sindiran itu terdapat dalam buku Sebab Aku Terdiam ………(1939). Ia menerbitkan buku di Balai Pustaka berjudul Narumalina (1932). Sebuah cerita yang penuh lirik melukiskan kehidupan di kampung. Tahun 1939 ia menerbitkan Pantun Orang Muda dan Sebab Aku Terdiam…….
Pemimpin yang merasa cukup dengan memberi fatwa saja berupa ada tanggung jawab, disindirnya dengan halus dalam sajak yang berjudul “Petua dan Nasihat”, sindiran itu ditujukan kepada diri sendiri. Di bagian lain dilukiskan betapa orang-orang yang hendakl bekerja asyik mendengarkan nasihat yang diberikannya. Sementara itu haripun rembang sehingga seharian itu tak apapun dikerjakan. Kemudian Mandank merindukan “Pujangga” tapi bukan ‘Pujangga Pemain Kata’ melainkan pujangga yang turun ke bumi nyata dari tahta untuk memberi bukti perbuatan :

“Pujangga!, turunlah, O, Pujangga!
Dimanakah tuan lagi bertahta!
Saya hasrat hendak berjumpa
Menemui wajahmu, O pujangga!
Bukan pujangga pemain kata
Tetapi pujangga juru pencipta
Pembawa ujud bukti yang nyata
Yang bukan kata sekedar kata …………”

6.   Samadi ,
Nama samaran dari Anwar Rasjid (lahir di Maninjau tanggal 18 November 1918). Kumpulan sajak yang diterbitkan Senandung Hidup (1941). Pada tahun 1939 ia menjadi redaktur Peduman Masyarakat dan Pedoman Islam di Medan. Sejak syair yang dihimpunkan dalam Senandung Hidup ditulisnya antara tahun 1935 dan 1941.

Dasar keagamaan pada penyair ini berasa tidak pernah sampai lepas dalam segala penderitaan dan kemalangan Ia senantiasa ingat akan Tuhan
Dalam sajaknya Aku Kembali, Kasih ………ia melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan. Setelah ia mengembara kemana-mana, merasa rindu dan “Selalu sangsi atas cintamu”. Dan kesadaran akan mati menyebabkan ia selalu ingat akan perintah tuhan, seperti ia katakana dalam sajaknya “Betapa Gerang Akan Jadinya”.

Semua itu menyebabkan ia sadar betapa arti hidup dan kehidupan di alam pana ini, seperti dituliskan dalam sajak ‘Hidup’. Segalanya itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran Jalan Benar. Apa kata oaring tak jadi soal, sama halnya dengan sanjung dan puji “membunuh hati”,seperti dikatakanya dalam sajak ‘Asal Takhina di Sisi Tuhan’. Hidup baginya hanyalah mencari ridho Ilahi semata.

Sajaknya ‘Musapir Mendaki Gunung’ dan Kepada Kekasih, merupakan sajak-sajak yang cukup kuat.Sajak itu nafasnya lebih dekat kepada sajak-sajak para penyair sesudah perang dari pada kepada penyair sebelumnya. Penyair ini hilang tak berbekas ditengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatra sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).

TOKOH-TOKOH SASTRA ANGKATAN BALAI PUSTAKA
1.   NUR SUTAN ISKANDAR
Nur Sutan Iskandar dilahirkan pada tanggal 3 November 1893 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat. Namanya semasa kecil adalah Muhammad Nur, setelah beristri menurut adat Minangkabau diberi gelar Sutan Iskandar. Pendidikannya adalah Sekolah Melayu kelas II di Maninjau tamat tahun 1908. Ia menjadi guru sekolah desa di sungai batang dan setelah itu menjadi guru bantu di Muara Beliti (Palembang). Pada tahun 1914 ia dipindahkan ke sekolah kelas II di Padang. Selanjutnya berturut-turut kedudukannya adalah menjadi korektor Balai Pustaka, Redaktur Kepala pada Balai Pustaka. Dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra di Universitas Indonesia Jakarta. Salah seorang pengurus Budi Utomo, juga menjadi pengurus Partai Indonesia Raya. Pernah pula menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia. Ia adalah perintis kemerdekaan dan mendapat anugerah Satyalencana Kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Kiranya semua orang akan sependapat kalau dikatakan bahwa Nur Sutan Iskandar adalah orang yang sangat setia kepada karyanya, yakni mengarang. Banyak sekali buku peninggalannya baik berupa karya asli, saduran, maupun terjamahan. Bahasanya amat lancar dan terjaga dengan baik. Dengan sangat teliti ia menggambarkan lokasi cerita, hinggga mampu membuat karyanya sangat menarik.
Adapun karyanya antara lain :
a.   Neraka Dunia (Novel 1937)
b.   Cinta Tanah Air (Novel 1944)
c.   Perjalanan Hidup ; Perjuangan Srikandi Irian Barat untuk Kemerdekaan (1962)
d.   Gudang Intan Nabi Sulaiman (1929, dari Ridder Hanggard)
e.   Tiga Panglima Perang (1922, saduran dari Alexander Dimas)
f.    Abunawas (1929)

2.   MARAH RUSLI
Seorang bangsawan yang lahir di Padang pada tahun 1889 dan meninggal pada tanggal 17 Januari 1968. Ia menjadi dokter hewan beberapa lama di Sumbawa dan terakhir di Semarang. Akibat perkawinannya dengan gadis Sunda yang tidak disetujui keluarganya maka ia diasingkan dari ikatan keluarga. Situasi demikian sedikit banyak akan tercermin dalam, karya-karyanya. Roman Siti Nurbaya merupakan roman karya Marah Rusli yang paling populer pada Angkatan Balai Pustaka, bahkan paad zaman Belanda roman itu dicantumkan sebagai buku pelajaran di AMS, Yogyakarta. Marah Rusli dianggap sebagai salah seorang pelopor atau pengakhir zaman kesusasteraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam bukunya bukan hal-hal yang istana sentris lagi dan bukan hal-hal yang bersifat fantasi belaka, melainkan lukisan realitas masyarakat. Adapun karangan Marah Rusli yang lain adalah :
a.   Anak dan Kemenakan (roman 1956)
b.   La Hami (roman sejarah di Pulau Sumba)
c.   Memang Jodoh (belum diterbitkan sampai sekarang)

3.   ABDUL MUIS
Abdul Muis dilahirkan di Bukittingi 3 Juli 1886. Ayahnya berasal dari Laras Sungai Puar, Ibunya putri Jawa keturunan Sentot Alibasya. Ia meninggal pada tahun 1959 di Bandung. Pendidikannya adalah Stovia tetapi tidak tamat. Kemudian menjadi wartawan dan pemimpin Serikat Islam, serta giat dalam gerakan untuk memperoleh otonomi yang lebih besar bagi Hindia (Indies) sepanjang Perang Dunia I. Pernah pula menjadi anggota delegasi Comite Indie Weerbaar (Panitia Pertahanan Hindia) ke negeri Belanda. Dilantik menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1920.
Sebagai penulis, penerjemah, dan wartawan, dia hidup secara tidak menonjol di Jawa Barat hingga meninggalnya. Romannya yang paling terkenal adalah Salah Asuhan. Roman ini sangat menarik karena temanya dan cara pengarang mengungkakan tema itu. Selain itu, roman ini menarik karena keterusterangannya dalam membicarakan masalah diskriminasi ras (keturunan bangsa) dan masalah sosial, serta yang lebih menarik lagi karena persoalan ini diungkap karya sastra.

Roman Abdul Muis kedua adalah Pertemuan Jodoh (1933) dibandingkan dengan roman pertamanya roman ini kurang berhasil. Roamn tersebut berisi kritik terhadap unsur-unsur feodalisme yang menghambat kemajuan. Hal yang menarik dari roman tersebut adalah digunakannya dialek Betawi dan Sunda dalam dialog-dialog antara pelakunya.
Adapun karya-karya Abdul Muis yang lain adalah :
a.   Surapati (roman sejarah,1950)
b.   Putri Umbun-Umbun Emas (1950)
c.   Robert Anak Surapati (roman sejarah 1952)
d.   Suara Kakaknya (cerpen)
e.   Daman Brandal Sekolah Gudang (roman kanak-kanak)

Selain ketiga pengarang yang disebut di atas, sebenarnya banyak sekali pengarang-pengarang lainnya. Mereka antara lain :

4.   AMAN DATUK MOJOINDO
Aman Datuk Mojoindo lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat pada tahun 1895 dan meninggal pada tanggal 16 Desember 1969 di Jakarta. Ia pernah memimpin rubrik cerita anak-anak pada majalah Panji Pustaka. Pada umumnya karangannya berisi kejenakaan (humor). Karangan yang telah dihasilkannya antara lain :
a.   Si Doel Anak Betawi
b.   Si Cebol Rindukan Bulan (roman 1934)

5.   MUHAMMAD KASIM
Muhammad Kasim lahir pada tahun 1886 di Muaara Sipongi dan pekerjaan sehari-harinya menjadi guru. Satu keistimewaannya adalah menampilkan cerita-cerita lucu. Bukunya yang berejudul : Pemandangan Dunia Anak-Anak, mendapat juara kesatu dalam lomba mengarang bacaan anak-anak yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, pada tahun 1924. Karangan Muhammad Kasim Antara lain:
a.   Teman Duduk (kumpulan cerpen yang dimuat Panji Pustaka sekitar tahun 1931-1935)
b.   Muda Teruna (19520)

6.   TULIS SUTAN SATI
Tulis Sutan Sati lahir pada tahun 1898 di Bukittinggi dan meninggal paad zaman Jepang. Karya-karyanya terdiri atas asli dan saduran, baik roman maupun syair. Karya-karyanya yang asli berbentuk roman adalah Sengsara Membawa Nikmat (1928), Tidak Tahu Membalas Guna (1932), Tak Disangka (1932), dan Memutuskan Pertalian (1932), sedangkan karya-karya sadurannya dalam bentuk syair adalah Siti Marhumah Yang Saleh (saduran dari cerita Hasanah yang saleh), Syair Rosina (saduran tentang hal yang sebenarnya terjadi di Betawi pada abad lampau), Sabai nan Aluih (saduran dari sebuah kaba Minangkabau dalam bentuk prosa beriman).

7.   MERARI SIREGAR
Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juni dan meninggal
tanggal 23 April 1940 di Kalianget, Madura. Ia menjadi terkenal karena romannya Azab
dan Sengsara (1920). Karya-karyanya adalah Azab dan Sengasara (roman 1920).
Selain pengarang di atas juga ada pengarang wanita dalam Balai Pustaka antara lain :

8.   Nurani
Nurani terkenal dalam dunia sastra karena terjemahan-terjemahannya antara lain berjudul
Pinokio.

9.   Sa’adah Alim
Pengarang ini dikenal karena karya-karyanya sendiri maupun terjemahan. Karyanya sendiri adalah pembalasannya (1941 drama) dan Taman Penghibur Hati (kumpulan cerpen 1941).

10. Selasih
Selasih lahir pada tanggal 31 Juli 1909 di talu, Lubuk Sikaping. Karya-karyanya adalah Kalau- Tak Untung (roman 1933) dan Pengaruh Keadaan (roman 1937), sedangkan puisi-puisinya dimuat dalam majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru. Ia sering menggunakan nama samaran Seleguri atau Sariamin.

PERIODE 1933-1942
1. Lahirnya Majalah Pujangga Baru
Sejak tahun 1920 kita sudah mengenal majalah yang memuat karanagan “sastra seperti Sri Poestaka (1919-1941). Panji Poestaka (1919-1992) Yong Soematra (1920-1926). Hinggga awal tahun 1930 an para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesastraan belum juga terlaksana
Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (1930-193 ) mula-mula dalam bahasa Belanda kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia Sutan Takdir Ali Syahbana sebagai direktur.

Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Ali Syahbana berhasil mendirikan Majalah kesastraan dan bahasa serta kebudayaan umum. Tahun 1935 berubah menjadi menjadi pembawa semangat baru dalam kesastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”. Kemudian tahun 1936 terjadi lagi pembahasan yaiut bnerbunyi “Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia.”

Majalah ini terbit dengan setia meskipun bukan tanpa kesulitan berkat pengorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisahbana. Kelahiran majalah Poejangga Baru yang banyak melontarkan gagsan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan bukan berarti tidak menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandakan bahasa Indonesia sekolah bahasa Melayu menimbulkan berbagai reaksi, sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa yang erat berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi seperti H. Agus Salim (1884-1954) Sutan Moh. Zain (tahun1887), S.M Latif yang menggunakan nama samaran Linea Recta dan lain-lain.

2. Tokoh-tokoh Poejangga Baru
Sutan Takdir Alisjahbana
Motor dan penggerak semangat gerakan Pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisyahbana lahir di Natal 1908. Sejak tahun 1929 muncul dipanggung sejarah dengan roman berjudul Tak Putus Dirundung Malang, roman kedua berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932) roman ketiga berjudul Layar Terkembang (1936), adapun roman yang berjudul Anak Perawan Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu dari pada Layar Terkembang dimuat sebagai Feulilleton dan majalah Pandji Poestaka.

Tiga puluh tahun kemudian Sutan Takdir Alisjahbana menulis roman yang berjudul Grotta Azzurra (Gua Biru). Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting., yang terbit pada tahun tiga puluhan merupakan salah satu karya terpenting pula dari para pujangga baru .Sebagai penulis roman, Takdir terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina Bahasa Indonesia. Oleh Ir. S. Udin ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia”.

Atas inisiatif Takdir melalui pujangga baru-lah maka pada tahun 1938 di Solo diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia ( 1947-1952 ). Dalam majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia ( 1957 ).

Takdir juga menulis sajak-sajak salah satunya yang mengenangkan pada kematian isterinya yaitu berjudul Tebaran Mega ( 1936 ).Esai-esai Takdir tentang sastra banyak juga antara lain “Puisi Indonesia Zaman Baru”. Kesusastraan di zaman Pembangunan Bangsa (1938), “Kedudukan Perempuan dalam Kesusastraan Timur Baru (1941)”, dan lain-lain. Ia pun menyusun dua serangkai bungarampai Puisi Lama (1941).Dan Puisi Baru (1946) dengan kata pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya masing-masing.

Armijn Pane
Organisator pujangga baru adalah Armijn Pane. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Poedjangga Baroe. Armin terkenal sebagai pengarang roman Belenggu (1940). Roman ini mendapat reaksi yang hebat, baik dari yang pro maupun yang kontra terhadapnya.Yang pro menyokongnya sebagai hasil sastra yang berani dan yang kontra menyebutnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan dibelakang dinding-dinding kesopanan.

Belenggu ialah sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskan bukanlah gerak-gerak lahir tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerak batinnya. Armijn pane sebagai pengarang dalam roman yang berjudul Belenggu ini tidak menyelesaikan ceritanya sebagai kebiasaan-kebiasaan para pengarang sebelumnya, melainkan membiarkannya diselesaikan oleh para pembaca sesuai dengan angan masing-masing. Sebelum menulis roman Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai dan sandiwara. Cerpennya “Barang Tiada Berharga”. Dan sandiwaranya “Lukisan Masa” merupakan prototif buat romannya Belenggu.

Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya tersebar kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia pun banyak pula penulis esai tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne Indonesische Literatuur (1949).

Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya. Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan pengarang lainnya.

Amir Hamzah (1911-1946)
Amir Hamzah termasuk salah satu penyair religius (keagamaan). Ia menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa. Ia adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum di Jawa. Aktif dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan dan bersama Sultan Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru.
Keturunan bangsawan langkat di Sumatra Timur. Ini menghasilkan karya yang tidak sedikit, diantaranya :
-     Sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937)
-     Buah Rindu (1941)
-     Setanggi Timur (1939)
-     Dsb
Ciri khas puisi Amir Hamzah :
1.   Ia banyak mempergunakan kata-kata lama yang diambilnya dari khasanah bahasa melayu dan kawi.
2.   Kata-kata yang dijemputnya dari bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa Melayu, Jawa, Sunda.

Isi sajak Amir Hamzah kebanyakan bernada kerinduan, penuh ratap kesedihan. Tetapi isi puisinya tidak hanya menimbulkan kesedihan, rasa sunyi dan pasrah diri tapi ia juga menekankan pada rasional.

J. E. Tatengkeng
J. E. Tatengkeng juga termasuk salah seorang penyair religius sama halnya seperti Amir Hamzah. Hanya saja yang membedakan adalah Amir beragama Islam sedangkan J. E. Tangkeng beragama Kristen. Ia juga menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa.
 
Penyair kelahiran Sangihe ini menulis sebuah buku yang berjudul Rindu Dendam. Puisi pertamanya berjudul Anakku dan masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga Baroe.

Sajak, kritik-kritik, esai-esainya sangat penting terutama karena sifatnya yang tegas dan jujur. Bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang baik menurut norma-norma bahasa Melayu Riau.
Struktur puisinya bebas dari pengaruh pantun dan syair atau bentuk-bentuk puisi melayu lama lainnya.

DAN PENYAIR-PENYAIR PUJANGGA BARU YANG LAIN
Sesungguhnya banyak penyair yang menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup untuk dibukukan. Tetapi tidak mereka lakukan.
Salah seorang diantara mereka adalah Asmara Hadi yang sering mempergunakan nama samaran H.R. atau Ipih, A. M. Daeng Myala (A.M. Thahir), Mozasa (Muhammad Zain Saidi) , M.R. Dajoh dan lain-lain.

a.   Asmara Hadi
Sajak-sajaknya penuh romantik dan kesedihan dan dalam sebagian sajaknya lagi terasa semangat perjuangan yang penuh keyakinan. Hal ini di ilhami luka jiwa yang disebabkan oleh kematian cintanya; seperti pada puisi ‘Kusangka Dulu‘, ‘Kuingat Padamu’

b.   A. M. Thahir (A.M. Dg. Myala)
Sajak-sajaknya dimuat dalam ‘Pandji Poestaka’ majalah Indonesia dan lain-lain. Pada sajaknya ada kecendrungan kepada pelukisan kehidupan sehari-hari kaum buruh, misalnya dalam sajaknya yang berjudul ‘Buruh’.

c.   M. R. Dajoh
Ia juga menaruh minat pada pelukisan kehidupan si kecil. Karyanya antara lain: ‘Syair Untuk A.S.I.B. (1935) dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan lagi kedalam bahasa Indonesia.

d.   Moehammad Zain Saidi (Mozasa)
Sajak-sajaknya hanya melukiskan kegembiraan menghadapi alam. Sajaknya sederhana namun didasari rasa cinta yang mesra, seperti dalam puisi yang berjudul: ‘Dikaki Gunung’.

e.   A. Rivai (Yogi)
Pada tahun 1930 ia mengumumkan sekumpulan sajak dengan judul Gubahan dalam Sri Poestaka. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul ‘Puspa Aneka’ diterbitkanya sendiri yaitu pada tahun 1931.
Dari sajak-sajaknya akan tampak bahwa ia gemar akan teosofi dan terpengaruh oleh ajaran Krishnamurti.
Kecuali para penyair yang sudah disebut tadi dalam Poedjangga Baroe kita saksikan munculnya para penyair seperti Aoh K. Hadimadja, M. Taslim ‘Ali’ Bahrun Rangkuti, Maria Amin dan lain-lain yang perananya akan lebih penting pada kurun masa yang lebih kemudian.

3.   Para Pengarang Balai Pustaka
a.   Nur Sutan Iskandar
Lahir di Maninjau 1893. Ia seorang pengarang Balai Pustaka dalam arti sesungguhnya.Roman pertamanya berjudul: Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1922) diterbitkan oleh swasta, yang kedua Cinta yang Membawa Maut (1926), kemudian bukunya yang menarik adalah Salah Pilih (1928) dan beberapa lagi adalah: Karena Mertua (1932), Tuba dibalas dengan Susu(1933), Hulu Balang Raja (1940 yang terpenting merupakan sebuah roman sejarah yang dikerjakan berdasarkan disertasi H. Kroekampde Westkust en Minang Kabau (1665-1668), Pantai Minang Kabau 91668 terbit 19310, Katak Hendak Jadi Lembu (1935) yang berlaku dikalangan priyayi sunda di Sumedang, roman ini gagal diceritakan karena ia tidak mengenal adat Sunda. Neraka Dunia (1937).

Karangan Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga disini adalah Pengalaman Masa Kecil (1949) dan Ujian Masa (1952), yang keduanya merupakan kenangan otobiografis. Pengalaman masa kecil menarik hati yang melukiskan pengalaman-pengalaman sampai ia berusia 15 tahun, ketika ia mulai mengajar di sekolah desa tahun 1908. Ujian Masa lebih merupakan catatan-catatan tentang peristiwa politik yang terjadi di Indonesia sejak aksi meliter Belanda pertama sampai awal 1948.

b.   I Gusti Njoman Panji Tisna
Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat Feodal di Bali. Roman pertama yang dikarang putera bali dalam bahasa Indonesia. Roman keduanya adalah Sukreni Gadis Bali (1936) yang melahirkan kehidupan masyarakat bali yang keras dan kejam, roman ini mendapatkan kritikan yang tidak setuju kepada beberapa kepercayaan masyarakat Bali.

BEBERAPA PENGARANG LAIN:
Tulis Sutan Sati menerbitkan buku sajak 1928, sebuah roman yang pertama adalah Sengsara Membawa Nikmat, kemudian menterjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thaib Gelar St Pamuntjak dari bahasa Minangkabau kebahasa Indonesia.
Dua buah Syair Siti Marhumah yang Saleh (1930) dan Syair Rosina. Paulus Supit pengarang Menado mengarang roman yang berjudul Kasih Ibu (1932). Aman Dt. Madjoindo lahir 1896 di Solok terkenal sebagai pengarang anak-anak roman antara lain berjudul Menebus Dosa (1932) dan Si cebol Rindukan Bulan (1934). Dan beberapa syair diantaranya: Si Banso, Gul Bakawali. Suman Hasibuan atau Suman Hs. Lahir di Bengkalis 1904. Terkenal gaya bahasanya yang lincah dan ringan. Cerita-ceritanya mirip detektif diantaranya Kasih Tak Terlarai(1929), Percobaan Setia (1931) dan Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Habib St Maharadja berjudul ‘Nasib’ yang mengisahkan tentang seorang pemuda Minang Kabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda.

4.   Para Pengarang Wanita
Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak. Pada masa sebelum perang, yang paling dikenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri. Keduanya nama samaran Sariamin (lahir di Tulu, sumatera Utara, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga baroe dan Pandji Poestaka.

Pengarang wanita lain yang juga pengarang roman ialah hamidah yang konon merupakan nama samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang pernah namanya tercantum sebagai pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah, berjudul Kehilangan Mestika (1935) yang diceritakan dalam roman itu ialah kemalangan dan penderitaan pelakunya. Seorang gadis yang mula-mula kehilangan ayah dan kehilangan kekasih berturut-turut.

Adli Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim disamping itu juga menulis sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Ia pun menterjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan pengarang wanita berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).

Pada saat menjelang Jepang datang, muncul pula Mario Amin (dilahirkan di Bengkulu Tahun 1920). Menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumpulkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.

5.   Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poestaka dan lain-lain tahun kedua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah yang sifatnya lelucon-hiburan, seperti Si Kabayan, Si Lebai malang, Jaka Dolok dan lain-lain.
Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka, cerita-cerita lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, di bukukan dengan judul Teman Duduk.

M. Kasim ialah seorang guru yang telah menulis sejak tahun 1922, yaitu dengan romannya yang pertama berjudul Muda Taruna. Pada tahun 1924 ia menang sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, dengan naskah Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (SI Amin) sebuah cerita kanak-kanak.
Berbagai-bagai saat dalam kehidupan manusia sehari-hari dijadikan bahan tulisan lucunya: beberapa lelucon lebaran dikumpulkannya dengan judul “Gurau Senda di I Sawal” dan yang lainnya seperti “ Bual di Kedai Kopi”, “Bertengkar Berisik”, dan lain-lain.dan hanya “Cara Chicago” lah yang tidak berupa lelucon.

Tidak banyak berbeda dengan cerpen-cerpen M. Kasim ialah cerpen-cerpen Suman Hs. Kemudian dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang ketika itu menjadi redaktur Balai Pustaka. Kumpulan itu diberi judul Kawan Bergulat (1938) judul ini tidak banyak beda dengan judul kumpulan Cerpen M. Kasim: Maksudnya Hendaknya menunjuk isi buku tersebut hanyalah sekedar bahan bacaan senggang. Tetapi kalau dibandingkan gaya bahasanya, bahasa Suman lebih jernih. Hanya terasa pada bewberapa ceritanya, Suman memberikan kritik juga pada sifat-sifat manusia, misalnya dalam “Pandai Jatuh” menyindir orang yang suka sombong dalam “Fatwa membawa Kecewa” menyindir Orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah. Dalam “Kelekar Si Bigor” menyindir orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh orang yang buta huruf.

Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen, menjadi bahan yang produktif buat Haji Abdul Karim Amrullah yang lebih dikenal sebagai Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau). Seperti yang dikumpulkan dalam”Didalam Lembah Kehidupan” (1941). Berlainan dengan M. Kasim dan Suman Hs. Hamka mempergunakan cerpen bukan sebagai hiburan tetapi sebagai usaha untuk menggugah rasa sedih para pembaca. Adapun karya-karya Hamka adalah “kumpulan Air Mata, kesedihan dan rintihan yang diderita oleh golongan manusia diatas dunia ini dan Inyik Utih”.

Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941) dan yang diberinya keterangan “beberapa cerita pergaulan” tidak berhasil sebagai cerpen. Ada semacam prasangka dan ketakutan kepada “Barat” yang menyebabkan pengarangnya mempertahan tradisi dan keras kepala. Pada kenyataan saat Sa’adah Alim menulis cerpen-cerpen itu sebenarnya kaum muda sudah menang. Maka prasangka semacam itu terasa aneh. Tetapi kalau diingat dia berasal dari Minang Kabau dengan sistem kemasyarakatannya matrilinial maka hal itu dapat dipahami juga.

Yang menulis cerpen-cerpen yang sungguh dan lebih ditinjau dari segi sastra ialah Armijn Pane. Cerpennya banyak dimuat dalam majalah poedjangga Baroe. Diantaranya “Barang Tiada Harga” cerpen ini kemudian menjadi dasar romannya Belenggu.Dan dalam cerpennya ”Tujuan Hidup” ia melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru yang memilih hidup sendiri. Dalam cerpen “Lupa” ia melukiskan kehidupan kaum politikus yang karena tak dapat memperjuangkan cita-cita mereka oleh berbagai tekanan pemerintah lalu menghabiskan waktu mereka ditempat-tempat maksiat.

Pada masa sesudah perang cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang ditambah dengan cerpen-cerpen yang ditulisnya kemudian, dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul kisah antara manusia (1953). Kalau “Barang Tiada Berharga” merupakan prototif bagi roman Belenggu yang ditulis Armijn. Maka kita pun menemukan prototif Layar Terkembang dalam cerpen “Mega Mendung” yang ditulis Takdir beberapa waktu sebelum roman itu terbit.Cerpen itu dimuat dalam majalah Pandji Poestaka.

6.   Drama
Dalam bidang penulisan Drama kita hanya menyaksikan beberapa orang saja pengarang yang rata-rata menulis lebih dari satu drama.
Roestam Effendi menulis drama dalam bahasa Indonesia yang merupakan sebuah drama sajak Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara sudah Berkata…..(1932) juga Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dimana keduanya merupakan drama berdasarkan sejarah Jawa.

Sanusi pane menulis kertajaya dan Sandhyakala Ning Majapahit yang diambil dari sejarah Jawa, drama yang ditulisnya dlam bahasa Belanda juga mempunyai latar belakang kebesaran sejarah Jawa yaitu Air Langga dan Eenzame Gaoedavlucht.

Kegemaran para pengarang kita pada masa itu melukiasakn kebesaran sejarah, mungkin disebabkan oleh karena kerinduan akan kebesaran diri sendiri. Umumnya drama-drama itu berbentuk closet drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan. Didalamnya kurang sekali gerak dan aksi ataupun pertunjukan watak melainkan banyak sekali percakapan. Namun rata-rata drama-drama tersebut pernah juga di pertunukan diatas panggung. Biasanya apabila ada kesempatan peringatan-peringatan atau kongers-kongres. 
Dalam roman Layar Terkembang, Takdir melukiskan bahwa dalam Kongres perikatan Perkumpulan Perempuan yang dihadiri oleh Tuti, dipertunjukan drama Sanusi Pane Sandhyakala ning Majapahit. Kesemapatan itu digunakan Takdir Alisjabana untuk mengkeritik dan mengemukakan pendapat tentang drama itu melalui tokoh-tokoh romannya.

Sanusi Pane yang mengambil tempat peistiwa terjadinya di India Manusia Baru (1940), juga merupakan closet drama. Drama ini seperti drama-drama lain sangat idealistis dan merupakan wadah si pengarang dalam mengemukakan cita-citanya mengenai Timur dan Barat permainan watak, dramatis dan lukisan-lukisan sisinya kurang mendapa perhatian.

Armijin Pane banyak menulis drama pada masa sebelum perang. Drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup jamanya. Berdasarkan cerpenya Barang Tiada Berharga” , juga melukiskan kehidupan jamannya sendiri. Akan tetapi bukan berarti ia tidak menulis drama berdasarkan peristiwa masa silam. Dari roman I Gusti Njoman Pandji Tisna, ia membuat drama ‘I Swasta setahun di Bedahulu’ dan berdasarkan sebuah cerita M.A. Salman dalam bahasa Sunda ia pun setting masa silam.

Setelah perang drama-drama Armijn Pane itu kemudian dikumpulkan dan di terbitkan dengan judul Jinak-
jinak Merpati (1953). Menjelang Jepang datang, terbit pula Balai Pustaka dua buah buku drama tangan Sa’adah Alim yang berjudul. Pembalasannya (1940) dan buah tangan Adin Affandi. Yang berjudul Gadis Modern (1941). Keduanya meupakan komedi yang mengejek orang-orang intelek.

7.   Roman-roman dari Medan dan Surabaya
Di luar lingkungan pujangga baru dan Balai Pustaka, ada juga penerbitan-penerbitan sastra, baik prosa berupa roman maupun puisi berupa kumpulan sajak. Dlam lapangan penerbitan roman, untuk tidak menyebutnkan peneribitan roman-roman picisan, kita melihat roman-roman buah tangan hamka yang tadi sudah pernah kita singgung dalam hubungan penulis cerpen.

Hamka ialah putra Haji Abdul Karim Amrullah, seorang ulama pembaharu Islam yang terkemuka di Sumatera Barat yang pernah mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-Zahar di Kairo, Mesir. karena itu, meskuipun Hamka sekolahnya hanya sampai kelas II Sekolah Dsasar saja, namun ia mendapat pendidikan agama dan bahasa Arab yang luas dari Sumatra Thawalib, Parabek (Bukittinggi) dan dari ayahnya. Tahun 1927 Hamka pergi ke Jawa dan belajar lebih lanjut kepada H.O.S. Tjokroaminoto, seorang pemimpin Islam terkemuka di Surabaya. Tahun 1927 ia pergi naik haji ke Mekah dan sepulangnya dari sana ia menjadi guru agama di padang dan turut pula memimpin pergerakan Muahammadijah di sana. Dari sana ia pindah ke medan dan aktif dalam jurnalistik. Ia menulis roman yang mula-mula dimuat sebagai feuilleton dalam majalah yang dipimpinnya. Bahwa seorng ulama menulis roman sangatlah aneh pada saat itu, sehingga timbul heboh. Hal itu menimbulkan pertikaian di kalangan umat Islam sendiri, ada yang pro dan ada yang kontra.

Roman Hamka yang petama berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), mengishkan cinta tak samapi antara dua kekasih yang terhalang oleh adat. Yang membedakan roamn ini dengan kebanyakan roaman adat yang lain ialah karena pengaranya membawa pelakunya ke Mekah dekat Ka’bah. Juga romannya yang kedua Tenggelamnya kapal van der Wijck (1939) mengisahkan cinta tak sampai yang dihalangi oleh adat Minagkabau yang terkenal kukuh itu pula. Dalam roman ini diceritakan tentang Zainuddin seorang anak dari perkawinan cmpuran Minang dengan Makasar tak berhasil mempersunting gadis idamannya karena rapt nidik-mamak tdiak setuju dan menganggap Zainuddin tidak sebagai manusia penuh. Zainuddin kemudian menjadi pengarang dan dalam suatu kecelakaan gadis kecintaanya meninggal dlam kapal yang ditumpanginya. 

Roman ini menimbulkan heboh pada tahun 1962, kerena ada orang yang menyebutnya roman ini sebagai hasil curian (plagiat). Roman ini disebut sebagai curian dari sebuah karangan pengarang Perancis Alphonse Karr yang penuh disadur ke dalam Bahasa Arab oleh Mustaffa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1924) sorang pujangga Arab-Mesir yang sangat dikagumi Hamka. Karanga Jean Bapitiste Alphonse Karr (1808-1890) yang dlalm bahsa Perancisnya berjudul Sous les Tilleules (Di bawah naungan pohon Tila) (1832) Madjulin. Madjdulin ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahsas Indonesia oleh A.S Alatas berjudul Magdalena (963).

Kecuali kedua roman itu, Hamka pun menulis pula Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939) dan Merantau ke Deli (1939).yang teakhir merupakan suatu kritik pula terhadap adat Minangkabau yang tidak segan-segan merusak kedamaian rumah tangga yang bahagia, karena si suami (orang Mingan) belum menikah secara adat, yaitu menikah dengan seoanrang Minangkabau, sehingga diceraikannyalah istri asal Jawa yang telah hidup bersama membangun rumah tangga bahagia.

Sehabis perang Hamka sempat menulis cerita. Tahun 1950 ia menulis Menunggu Beduk Berbunyi dan sebelum itu menulis Dijemput Mamaknya (1948?). riwayat hidupnya sendiri ditulisnya dalam empat jilid dengan judul Kenang-kenangan Hidup (1951-1952). Beberapa cerpennya dimasukkan pula ke dalam Di dalam Lembah Kehidupan.

Pengarang lain di Medan antara lain Matu Mona, namna samaran Hasbullah Parinduri (lahir tahun 1920 di Medan). Dan ia menulis roman berlatar peristiwa sejarah, berjudul Zamnan Gemilang (1939). Dan buku-bukunya yang lain adalah Ja Umenek Jadi-jadian, Rol Pacar Merah Indonesia, Spionage Dienst dan lain-lain
Sebuah roman yang dikarang oleh Iman Supardi berjudul Kintamani (1932) yang mengisahkan percintaan seorang pelukis Jawa dengan seorang gadis Bali. Ia seorang wartawan yang aktif di Surabaya.

8.   Pengarang Sumatra
Melalui usaha penyairnya sendiri dan penerbit–penerbit swasta kecil-kecilan di sumatra maka terbit beberapa buah kumpulan sajak yaitu Puspa Aneka buah tangan Yogi. Ali Hasjmy, Surapaty, Samadi, Bandaharo dan lain-lain.

Hasjmy atau lebih dikenal dengan M. Alie Hajiem (lahir di Seulimeum Aceh tahun 1914) sajak-sajaknya dimuat dalam majalah pujangga baru yaitu “Kisah Seorang Pengembara” (1936) memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbenmtuk soneta. Karyanya yang lain “Dewan Sajak” (1940) di bagi dalam 7 bagian yang rata-rata setiap bagian pengarang mengungkapkan pengalaman-pengalamanya. Kesukaran keindahan dan kegembiraan namun dengan cara yang datar karena tak ada penghayatan hingga karya-karya beliau dinilai tidak bermutu tinggi.

Tapi sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari pada karya-karya Hasjmy dan dinilai kurang meyakinkan. Demikian juga sajak-sajak H.R. Bandaharo (lahir di Medan 1917) diantaranya “Sarinah dan Aku” (1940). Kemudian sesudah masa pernag ia aktif dalam lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menerbitkan beberapa kumpulan sajak diantaranya “Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah.

Lebih bernilai unik diperhatikan ialah kumpulan sajak Rifa’i ‘Ali (lahir di Padangpanjang tahun1909). Beliau banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan Agama Islam, salah satu sajaknya berbunyi:

BASMALLAH
Dengan bismillah disambut bidan
Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti

Selain Rifa’I ‘Ali penyair Islam lain adalah Or. Mandank (lahir di Kotapanjang, Suliki, 1-1-1913). Lewat karyanya Sebab Aku Terdiam … beliau menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya. karya-karya Dr.Mandank yang lain ialah Pantun Orang Muda (1939).

Penyair terpenting yang menerbitkan sajaknya di Medan sebelum perang ialah Sumadi atau Anwar Rasjid (lahir di Maninjau 18 –11-1918). Kumpulan sajak beliau yang berjudul Senandung Hidup (1941).
Tak ubahnya dengan para penyair masa itu, Samadi pun bersajak kepada tanah airnya yang disebutnya dengan “Ibuku” dan sajaknya yang berjudul ‘Angkatan Baru’ ia sadar sebagai pemuda ia memiliki peranan dan tugas menghadapi hari siang. Ia memandang dirinya sbagai Pengembara, kelana, Pedang yang mengalami berbagai kemalangan.

Dasar keagamaan pada penyair ini tidak pernah lepas, ia senantiasa ingat akan Tuhan, ia sadar dan kian ikhlas berjuang, katanya dalam sajaknya “Jangan Di kenang”. Sajak-sajaknya yang lain berjudul Aku Kembali Kekasih …….’ Ia melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan setelah ia mengembara ke mana-mana merasa rindu dan “Selalu Sangsi Atas Cintamu”. Ia kemudian sadar, BETAPA GERANG AKAN JADINYA?, ASAL TAK HINA DISISI TUHAN.

Semua hal yang terkandung dalam puisi itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran jalan yang benar, hidup baginya hanyalah mencari ridho ilahi semata.
Penyair ini hilang tak berbekas di tengah-tengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatera sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).

PERIODE 1942-1945
1.   Saat-Saat yang Mematangkan
Dijajah Jepang selama 3,5 tahun merupakan pengalaman penting dalam sejarah Indonesia pada umumnya dan juga sastra pada khususnya. Karena Bahasa Indonesia tadinya dihindari Belanda agar supaya jangan resmi menjadi bahasa persatuan . Oleh orang Jepang Bahasa indonesia dijadikan satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan diseluruh dikepulauan.

Dengan makin intensifnya Bahasa Indonesia dipergunakan dikepulauan Nusantara, maka sastra indonesiapun mengalami intensifikasi juga. Keimin Bunka Shindo merupakan kantor pusat kebahasaan yang dibentuk oleh Jepang. Selain itu, Jepang juga mengadakan perkumpulan sandiwara dibawah P.O.S.D (Perserikatan Oesha Sandiwara Djawa ) .

Pada masa penjajahan Jepang banyak orang menulis sajak dan cerpen, sandiwara sedangkan roman kurang ditulis itupun yang diterbitkan hanya dua Cinta Tanah Air, karangan Nur Sultan Iskandar dan Palawija (1944) karya Karim Halim. Keduanya roman propaganda yang bernilai sastra.

Pada masa inilah Bahasa Indonesia mengalami pematangan, seperti tampak pada sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus yang tidak hanya sekedar alat untuk bercerita atau menyampaikan berita, tetapi telah menjadi alat pengucap sastra yang dewasa. Usaha inilah yang menyebabkan dimulainya suatu tradisi puisi indonesia yang hampir tak terbatas. Bahasa sajak Chairil Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan,

Kehidupan yang morat-marit juga mengajar para pengarang supaya belajar hemat dengan kata-kata. Setiap kata, kalimat, setiap alinea ditimbang dengan matang, baru disodorkn kepada pembaca. Juga segala superativisme dan perbandingan yang penuh retorika yang menjadi cirri dan kegemaran para pengarang pujangga baru telah ditinggalkan.

2.   Para Penyair
Usmar Ismail, Bukittinggi 20 maret 1921, dikenal sebagai seorang dramawan dan sineas (pembuat film). Cerpen-cerpennya hanya ada beberapa saja, antara lain dimuat dalam Pancaran Cinta (1946) dan Gema Tanah Air (1948) disusun oleh H.B Jassin. Sajak-sajak Usmar kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam dengan judul Patung Berasap (1949)

Dalam sajak “Kita Berjuang” ia dengan lantang menyatakan hahsratnya “Beserta saudara turut berjuang.” Maksudnya bserta saudara tua. Dalam sajak “Pujangga dan Cita-cita” ia dengan yakin berkata kepada pujangga, “ Carilah dahulu perjuangan jiwa/Carilah Asia di dalam dada.” Namun tak lama ia pun menulis sajak “Diserang Rasa” yang menggambarkan timbulnya rasa\was-was dan ragu kepada kesungguhnan janji semboyan Jepang

DISERANG RASA
Apa hendak dikata
Jika rasa bersimaharajarela
Di dalam batin gelisah saja
Seperti menanti suatu yang tak hendak tiba
Pelita harapan berkelap-kelip
Tak hendak padam, hanyalah lemah segala sendi
Bertambah kelesah hati yang gundah
Sangsi, kecewa, meradang resah
Benci, dedam……..rindu, cinta………..

Amal Hamzah, adik Amir Hamzah, lahir di Binjai, Langkat 31 Agustus 1922. Ia menerjemahkan beberapa buah karya Tagore, yang pernah mendapatkan hadiah Nobel 1931 di antaranya Gitanyali (1947).
Amal mulai menulis di zaman Jepang, ketika ia kehilangan kepercayaan kepada manusia. Ia menjadi kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalistis. Dalam sandiwara-sandiwaranya sangat menonjolkan sensualisme. Sajak dan karangan lain kemudian diterbitkan dalam sebuha buku berjudul Pembebasan Pertama (1949). Hilangnya kepercayaan kepada manusia, jelass terlihat dalam sajak “Melaut Benciku”. Selain itu, Amal juga menulis buku yang berjudul “ Buku dan Penulis” (1950)

MELAUT BENCIKU
Melaut benciku terhaadap manusia
Melaut pula benciku terhadapku sendiri
Karena dalamkelakuanmereka
Terlihat olehku perangaiku asli
Menjilat
Menipu
Membohong
Memeras
……………………………
Kalau boleh kupinta dulu
Aku tak usah lahir ke dunia tipu
Tapi mlang!
Aku lahir bukan kehendakku!
Dalam pelukan cainta berahi
Tumbuh benih membusuk diri
Tercampak ke dunia
Sebagai hasil nafsu kedua!
Bah!
Kalau boleh kupinta dulu
Jangan badan datang kemari

Rosihan Anwar, Padang 10 mei 1922. Sekarang terkenal sebagai wartawan komunis terkemuka. Sajak-sajaknya banyak melukiskan perasaaan dan semangat pemuda. Cerpennya yang berjudul “Radio Masyarakat” melukiskan kemelut jiwa pemuda yang dilnda keraguan atas segala janji-janji kosong dari Jepang. Pata tahun 1967 Rosihan menerbitkan sebuah roman berjudul “Radja Ketjil, Badjak Laut di Selat Malaka”.

Anas Ma’ruf, Bukittinggi 27 oktober 1922. Pada jaman sesudah perang terkenal sebagai organisator kebahasaan dan penterjemah. Ia juga menterjemahkan karya-karya para pengarang dunia seperti Rabindranath Tagore (India), John Steinback (Amerika), William Saroyan (Amerika). Selain itu, ada  

M.S.Ashar , Kutaraja 19 Desember 1921. Ia menulis sajak “Bunglon” merupakan sindiran bagi orang orang yang bertabiat plin-plan. Kemudian Maria Amin , Bengkulu 1921 dengan karyanya “Tengoklah Dunia Sana” dan Nursjamsu, lahir di Sumatera Barat 6 oktober 1921. Di antara karyanya berupa cerpen berjdul “Terawang” dimuat dalam majalah Gema Suasana (1948)

3.   Cerita Pendek
Pada masa Jepang cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa penulis cerpen yang terkenal di antaranya adalah H.B. Jassin (Gorontalo, 31 juli 1922) yang menulis cerpen “Anak Laut”. Cerpen itu mungkin bukan cerpen Jassin yang petama, tapi jelas merupakan cerpennya yang terakhir. Sebelum perang Jassin menulis cerpen dalam Poejangga Baroe yang berjudul “Nasib Volontaire “ (1941).
Pengarang cerpen yang lain Bakri Siregar (Langsa /Aceh, 1922). Cerpennya yang pertama berjudul “Ditepi Kawah”. Pada masa pendudukan Jepang cerpen itu dibukukan dengan judul “Jejak Langkah” (1953).

4.   Drama
Penulis drama yang juga tumbuh sangat subur di bawah perkumpulan P.O.S.D yang dipimpin Armijn Pane. Beberapa pengarang yang membuat drama pada jaman Jepang adalah Armijn Pane. Armijn yang pada masa sebelum perang telah menulis “Lukisan masa, Barang tiada berharga, dan lain-lain pada masa Jepang menulis beberapa buah sandiwara yang kemudian dibukukan dengan judul “jinak –jinak merpati” (1953). Segera sesudah proklamsi iamenulis “Antara bumi dan langit”.

Usmar Ismail, pada masa Jepang menyadur sebuah kisah “Chichi Kaeru“ karangan Kikuchi Kwan menjadi “Ayahku Pulang”. Selain itu, ia pun menulis sandiwara kepahlawanan rakyat Maluku“Mutiara di Nusa Laut”. Drama yang ditulis Usmar yang belum dibukukan “Mekar Melati”dan “Tempat yang Kosong”. Drama “Api , Liburan Seniman, dan Citra” kemudian dibukukan dengan judul “Sedih dan Gembira” (1949).

Abang Usmar Ismail yang bernama Abu Hanifah (El-Hakim) 1960 di Padang Panjang. Pada zaman Jepang menulis beberapa buah drama yang kemudian dibukukan berjudul “Taufaan di Atas Asia” (1949). Ada empat buah drama dalam buku itu, yaitu Taufan di Atas Asia terdiri dari 4 bagian, Intelek Istimewa, 3 bagian , Dewi Reni, 3 babak, Insan kamil, 3 babak. Drama Rogaya, 4 babak; Mambang laut, 3 babak belum pernah dibukukan. Kecuali drama, ia juga menulis roman Dokter Rimbu (1942).

Idrus, pada zaman Jepang menulis beberpa buah drama, antaraanya “Kejahatan Membalas Dendam” dimuat dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948); Jibaku Aceh (1945); Keluarga Surono (1948); Dokter Bisma 1945. Dalam “Kejahatan Membalas Dendam” ia melukiskan perjuangan pengarangmuda dalam menghadapi (kekuasaan) pengarang kolot dengan (tentu saja) kemenangan di pihak pengarang muda, meskipun si pengarang kolot main guna-guna segala.

Kotot Sukardi menulis sandiwara Bende Mataram yang berlatar belakang maa perang Diponegoro (1825-1830). Sandiwaara itu kemudia diterbitka Balai Pustaka dengan judul yang sama bersama-sama dengan karangan Inu Kertapati yang berjudul Sumping Sureng Pati tahun1945.

Read more »