Sabtu, 05 November 2011

Persimpangan (Boni)

Semilir angin berhembus perlahan menerpa seorang pemuda. Matanya menerawang ke balik senja yang mulai berganti dengan malam, pekat, hanya cahaya redup bintang yang entah mengapa malam itu bersinar malu-malu. Sang pemuda memang selalu mengunjungi pantai itu, untuk sekedar menikmati senja, walaupun ia tahu tak selamanya senja itu indah.
Dalam benaknya, terlintas selalu suara Ayahnya, tiga tahun lalu, “ Nak, mengapa kau tak punya cita-cita menjadi dokter, menjadi pilot, menjadi insinyur?, bisa lah kau mengganti rumah kita yang reot ini, menyekolahkan adik-adik mu itu”. Suara itu yang seolah menjelma menjadi sebentuk suara mengiang, tak mau pergi, berdiam di otaknya. Perlahan ingatan sang Pemuda akan masa lalu semakin nyata, barangkali pertanda, pikirannya sudah mulai menua.

###
“ Boleh kita berkenalan” ujar seorang lelaki setengah baya.
“ Oh, boleh, Dedy, om siapa?
“Jangan panggil saya om, saya seorang Pastor”, datang lah ke gereja, sering kau temui aku di sana.
Pertemuan yang singkat, tapi ternyata membekas di hati Dedy, sang Pemuda. Ia memang sudah lama tidak melihat salib, sudah lama pula tidak mendengar suara lonceng, yang dulu akrab di mata dan telinganya. Semenjak ia menganggap dirinya seperti seorang pemusnah cita-cita sang ayah, ia tak lagi pernah ke gereja, barangkali lupa dimana ia punya Tuhan.
Dedy memang menjauh dari cita-cita sang ayah, ia kini hidup merantau di negeri orang, jauh dari tanah kelahirannya. Ia ingin lari dari kenyataan, kenyataan bahwa ia hanya seorang pemuda tamatan SMA yang sama sekali tak berniat melanjutkan sekolah seperti harapan sang ayah.
Hari-hari ia lalui dengan kapal-kapal yang menjadi saudara nya, menjadi keluarganya.
“ Dedy, apa kau tak pernah ingat tanah kelahiranmu, kasihan ayah mu”, Marko mencoba memberikan pengertian.
“Aku tak ingin menambah luka di hati ayah ku”
“Lalu, apa kau terus begini, mencintai kapal-kapal barang, apa kau sudah tak punya cinta?” Marko bertindak seperti seorang saudara laki-laki yang tak ingin adik nya terlarut dalam penyesalan dan penyalahan diri.
“Aku lupa tentang cinta, yang ku tahu aku ingin hidup tanpa suara ayah ku yang terngiang di telinga, tak bisa menjauh dariku.”

Pelabuhan mulai ramai, kapal-kapal besar pengangkut barang sudah antri berdatangan. Dedy sigap bekerja, tubuhnya seperti baja, tak pernah ada lelah dalam pekerjaannya, buruh kapal.
Matahari menunjukkan kehangatan, seorang gadis sedang mondar mandir, di sudut pelabuhan.
“Apa yang kau cari, bisa kubantu?” Dedy menyapa gadis itu.
“Aku sedang menunggu ayah yang kabarnya berlabuh siang ini”
Ayah !, kata yang membuat Dedy mundur dari keinginan nya untuk berkenalan dengan gadis itu, keinginan untuk mengikuti naluri mudanya. Begitulah, Dedy menjadi pemuda yang mungkin selalu mundur dalam cinta nya. Pernah memang Dedy dekat dengan seorang gadis, namun ia dikhianati, hanya karena ia seorang pecinta kapal-kapal barang.

###

Hari ini, tiga tahun yang lalu, pikirannya melintasi nasib dan angan-angan yang entah kemana, ia tidak tahu. Hari ini genap ia berusia 26 tahun. 26 tahun penuh pergulatan dengan dirinya sendiri, lalu ia teringat perjumpaannya dengan seorang pastor setengah baya.
Dedy datang ke gereja, St. Yusuf, sudut kota.
“ Apa yang membuat kau datang?”
“ Pastor, saya bermimpi dan mimpi saya seperti nyata, Salib itu menimpa kepala ku, dan ayah ada di atasnya”
“ Berdoalah”

“ Kepada ayah yang punya angan-angan untuk ku, izinkan maaf ku ini datang…
Ayah, aku punya cerita yang mungkin membuat ayah tak lagi kecewa
enam tahun aku menjadi pecinta kapal, dan hidup untuk ku sendiri, tanpa cinta…
aku sering bergumul dengan hidupku sendiri, setiap detik ku rasa…...
“Kepada ayah yang punya angan-angan untuk ku..”

###

Seorang lelaki muda tergantung di seutas tali, tepat di bawah salib, dekat lonceng, di sekitar menara gereja. Tubuh nya kaku, hening, hanya ada suara rintik-rintik hujan. Seorang lelaki muda dengan tulisan RIP di pembaringannya, mengubur putus asa dan rasa sesal.

0 comments:

Posting Komentar