Dosen yang enerjik, modis, disiplin, dan punya tatapan “mendalam” yang sangat disegani dan dicintai oleh tiap mahasiswa, terlebih bagi mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia, termasuklah saya, baru-baru ini menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi berjudul “Jejak-jejak Pena Dua Generasi”. Karya “duet”-nya bersama sang putri Pricilla Pascadeany Frelians, siswi kelas XII IPS Stella Duce 2 Yogyakarta. Sebuah karya—yang menurut saya sebuah masterpiece—hasil kontemplasi mendalam terhadap kehidupan yang manis getir. Entah itu percintaan, pergolakan bathin, kehilangan, harapan dan perjuangan.
Kumpulan puisi ini boleh saya katakan sebagai “karya langka” dari dosen-dosen FKIP Untan yang membidangi sastra. Hanya ibu Seli/bunda Seli (begitu mahasiswa akrab memanggil) yang berani menelurkan karya seperti ini. Sebuah karya yang “khas” dan wajib saya apresiasi.
Saya ingat waktu itu ibu Seli sedang berada di Malaysia ketika saya “memberanikan diri” untuk minta izin menulis beberapa hal mengenai karyanya ini (saya menggunakan fasilitas chatting FB). Syukur saat itu ibu Seli langsung mengiyakan. Kalau pun beliau tidak berkenan, saya akan tetap mengomentari karyanya ini, karena menurut saya, buku kumpulan puisi ini sudah menjadi milik umum dan pantas untuk dikomentari.
Kenapa Harus Puisi?
Setiap orang mempunyai “sarana” untuk menuangkan, mengungkapkan, mencurahkan atas segala hal yang ada di pikiran, hati, dan perasaannya. Mereka bisa menggunakan tulisan: cerpen, novel, essay, dan lainya. Mereka bisa menggunakan lagu. Mereka bisa menggunakan tangan: patung, lukisan, dan banyak lainnya. Mereka juga bisa menggunakan puisi. Puisi cocok untuk mereka yang sedikit ekspresif, peka, dan perasa. Oleh sebab itu, puisi bisa sangat menyentuh.
Chairil Anwar, Amir Hamzah, Taufiq Ismail, W.S. Rendra, dan banyak lainnya telah berhasil menggugah pucuk perasaan dan pikiran tiap orang hanya dengan menggunaka sebait puisi.
Keindahan puisi bukan hanya dinilai dari keteraturan tiap barisnya. Bukan juga keindahan kata-katanya, bukan juga harmoni melodinya, tetapi juga kedalaman makna dan cinta yang ditimbulkan setelahnya. Karena dimunculkan dari kedalaman hati, puisi menjadi begitu dramatis dan ekspresif. Hal inilah sepertinya disadari betul oleh ibu Seli ketika memilih puisi sebagai “sarana”-nya.
Jejak-Jejak Pena Dua Generasi
Kesan pertama saya setelah membaca puisi-puisi dalam buku “Jejak-jejak Pena Dua Generasi” ini adalah biasa saja. Bahasa yang digunakan begitu sederhana. Begitu umum. Simpel dan sangat mudah untuk dipahami maknanya. Akan tetapi, inilah identitas sejati dari gaya ibu Seli. Identitas yang jujur. Identitas yang menampilkan wajah kesederhanaan. Untuk alasan ini saya harus menyalahkan kesan pertama saya itu. Kesan pertama yang tak cukup menggoda.
Melalui puisi-puisi ini, ibu Seli tampil sebagai sosok yang jujur dalam menilai, jujur dalam merasa, dan jujur dalam mencintai. Dengan kata-kata yang sederhana, mengalir berirama, akan sangat mudah sekali untuk memahami makna yang tersampaikan tanpa harus mengerutkan dahi.
Ada beberapa puisi dalam kumpulan puisi ini yang secara subyektif saya anggap menarik dan mewakili keseluruhan. Termasuk di dalamnya satu puisi karangan sang putri Pricilla Pascadeany Frelians.
Pada halaman pertama kita disambut oleh puisi berjudul Perempuan dalam Sketsa. Puisi ini secara tersirat merupakan ucapan selamat datang dari penulis kepada pembaca. Seolah-olah hendak mengatakan, “Hei, para pembaca budiman! inilah aku apa adanya! Akulah perempuan dalam sketsa ini.” Antara kerapuhan dan kekuatan, mengambarkan bahwa dirinya adalah wanita yang seimbang. Berikut ini syair puisinya.
Perempuan dalam Sketsa
Tuhan, Engkau membentuk aku
Dalam rahim ibuku dengan kasih-Mu melalui ayahku
Ajaib, luar biasa, amat mengagumkan
Perempuan, itulah jentinaku
Perempuan yang telah kau hembusi dengan roh kehidupan
Aku hidup
Aku ada
Aku ternyata perempuan yang amat biasa
Biasa dalam segala harap dan rasa
Biasa dalam merasa dan bertindak
Biasa dalam kesesakan dan kemujuran
Biasa, ya aku perempuan biasa
Biasa dalam kelemahan, juga kelebihan
Aku perempuan dengan sejumlah warna
Baik rona pelangi yang menyelimuti hidupku
Begitulah harapku, niatku, citaku, dan mimpiku
Bahkan cintaku
Gambar perempuan itu, ternyata gambarku
Figuranya adalah hamparan perjalanan kesaharianku
Perempuan itu, ternyata aku
Ya, aku perempuan dalam sketsa ini
Perempuan itu, memang akulah
Ya, memang aku perempuan
Dengan identitas yang pasti
Bahkan teramat pasti
Cinta sejati yang murni adalah semata-mata kepada kekasih hati (suami). Kekasih yang selalu ada dalam susah dan senang. Kekasih yang selalu menemani hingga ajal menjemput. Cinta yang sebenarnya begitu sederhana. Itulah pesan yang terkandung pada puisi Kesederhanaan adalah Cinta Kita dan Dirimu yang ia tujukan khusus untuk suami terkasih. Berikut ini syair puisinya.
Kesederhanaan adalah Cinta Kita
-Untuk yang Terkasih Frans Laten-
Derai-derai ombak di pantai itu
Mengingatkan aku ketika cinta kita bermula
Dari kesederhanaan yang amat lekat dengan dirimu
1983 itulah awalnya
Semua terasa biasa dan teramat biasa
Persahabatan yang melahirkan rasa cinta yang tak berakhir
Pertengahan Juli 1987
Kau membawaku ke altar
Kau menikahiku
Sejuta rasa yang tak terkatakan
Dua puluh tiga tahun kemudian
Rasa kita tetap sama,
Terasa hangat, menggetarkan seperti rasa kita dulu
Riak gelombang keseharian kita membuat kita kuat
Kita tetap bertahan dalam kesederhanaan kita
Seperti kesederhanaan kita 23 tahun yang lalu
Rasa kita rasa yang abadi
Walau kerap kita salah menduga
Salah menilai, salah merasa
Ternyata rasa kita tak hendak berubah
Aku menyayangimu dalam kesederhanaan
Kesederhanaan yang memaafkan segala asa
Kesederhanaan yang membuatku tak mampu berpaling
Kesederhanaanmu mengikatku dalam keabadian rasa
Asa yang amat membahagiakan
Aku aman dalam kesederhanaanmu
Rasamu adalah rasaku
Rasa kita
Dirimu
Dirimu adalah bagian yang tak terencanakan
Yang hadir tanpa kumengerti
Yang selalu ada tanpa kuminta
Dirimu adalah bagian yang tak kupahami
Berpuluh-puluh kitab telah kubaca
Namun, tiada jawaban tentang dirimu
Dirimu adalah bagian yang amat mengusikku
Setiap hari aku mencari celah untuk menghindarimu
Namun, dirimu terus merembes di segenap hatiku
Tanpa bisa untuk kutolak
Dirimu adalah bagian yang terlarang dalam hidupku
Setiap saat bisik hatiku menolak hadirnya dirimu
Namun, pesonamu teramat memukau
Hingga aku menyerah pada hatimu
Dirimu adalah bagian yang amat berarti bagi diriku
Bahkan teramat berarti hingga tak tertandingi
Namun, hadirmu membuatku termangu
Hingga rasa itu membelengguku
Begitulah dirimu yang teramat abu-abu
Dirimu yang memaksaku untuk bersikap
Menuntutku untuk berani mengucap
Bahwa kita sama-sama merasa
Sama-sama menduga
Sama-sama menunggu
Sama-sama berharap
Sama-sama memiliki
Sama-sama ada
Puisi ini memunyai impact yang nyata bagi tiap pasangan entah sudah menikah ataupun belum. Kesetiaan dan ketulusan mutlak harus dimiliki oleh setiap pasangan dalam membangun sebuah hubungan. Puisi ini hendak menyampaikan bahwa cinta itu akan semakin mudah dipahami bila kita memandangnya sebagai hal yang sederhana. Dan begitulah kenyataannya cinta, kompleks.
Kedukaan selepas ditinggalkan oleh orang yang terkasih memang akan tidak mudah dilupakan. Di antara beberapa puisi yang bercerita tentang kedukaan setelah ditinggalkan, Belahan Jiwa 3 menggambarkan kesan yang begitu nyata dari kesedihan dan kepedihan jiwa seorang perempuan, seorang ibu, seorang mama. Pada akhirnya disadari bahwa kedukaan itu tidak akan dibiarkan larut terlalu dalam. Kepasrahan akan kehendak alam dan Tuhan menghadirkan ketenangan bagi jiwa. “biarlah rencana-Mu menjadi rencanaku”. Berikut ini syair puisinya.
Belahan Jiwa 3
Jika mengenangmu
Perih rasa kalbuku yang paling dalam
Aristo belahan jiwaku
Lima belas tahun yang silam
Dirimu begitu lekat dalam kepedihanku
Hadirmu yang tak terduga
Begitu juga pergimu yang tak pernah terbayang
Keabadian itulah tempatmu kini, Nak.
Jika teringat duka itu
Rasanya aku masih merasakan degup jantungmu
Denyut nadimu pertanda dirimu masih dalam dekapan
Lima belas tahun yang silam
Seolah baru kemarin duka itu hadir
Aku merasa ikut hilang bersamamu
Melayari dunia penuh cahaya
Melayari keabadian
Aristo, belahan jiwaku
Rindu Mama, rindu yang abadi
Beristirahatlah dalam keabadian
Dalam kedamaian
Amin
*kematian merupakan jembatan menuju keabadian,
wilayah transenden dari alam pikiran,
kematian—dengan cara apapun—bukanlah suatu kerugian bagi yang ditinggalkan,
namun suatu kehormatan bagi kehidupan.
kematian bukan semata menjadi kefanaan,
karena kematian mengajarkan kita untuk menghargai kehidupan,
semoga jiwa yang terlepas dari soma, dicintai, kerena jiwa tak pernah mati...
Puisi Semua karena Aku Mau memberikan sugesti semangat kepada diri saya. Puisi ini benar-benar memotivasi. Segala hal yang dari awal sudah menjadi pilihan dan kita pilih harus mampu dipertanggungjawabkan. Membaca syair puisi ini mengingatkan saya pada film “Yes Men” yang dibintangi oleh Jim Carrey. Pesan moralnya adalah ketika kamu memilih suatu jalan hidup, kemudian kamu merasa bosan, kamu harus melihat kembali apa yang sebelumnya membuat kamu memilih jalan tersebut. Kamu harus member cinta pada pilihanmu. Berikut syair dari puisinya.
Semua karena Aku Mau
Kecintaanku pada dunia yang satu ini
Adalah kecintaan sejak aku belia
Hanya satu impianku
Kenjadi abdi bangsa
Yang setia
Semua karena aku mau menjadi seseorang
Yang dapat berguna bagi banyak orang
Mencoba berbagi dan merasakan
Mau dengan ikhlas mengabdi
Padamu anak-anak bangsa
Yang bersedia berproses
Bersedia dibentuk
Semua gara-gara aku mau.
Bagaimana jadinya kalau aku tak mau?
Pikiran sesaat ini segera kubuang jauh di dasar budiku.
Semua karena aku mau melayani, mau belajar memahami
Aku selalu merindukan tatapan penuh harap, penuh Tanya
Tatapan yang selalu menantangku untuk selalu mengasah budiku
Dengan berbagai kebijaksanaan yang mendahului mereka.
Semua karena aku mau,
Karena aku rindu,
Karena aku menyayangi
Semua karena aku mau dan
Amat merindukan mereka
Satu puisi terakhir yang menurut saya patut diapresiasi adalah puisi berjudul Kau karangan Pricilla Pascadeany Frelians. Puisi ini mempunyai kekuatan kata-kata, kedalaman makna, dan kejujuran. Kerinduan untuk dicintai. Simbol usia remaja. Berikut ini syair puisinya.
Kau
Matamu hadirkan keteduhan hati
Dikala matamu memandangi kutenang
Saat aku terdiam dalam kebimbangan
Belaianmu tegarkan diriku
Saatku tak percaya pada diri ini
Tak mampu menghadapi rintangan yang ada
Pelukanmu membuatku merasa aman
Tak pernah ingin melepaskannya
Agar kutetap aman denganmu
Genggamanmu menuntunku
Ketika ku tak tahu harus ke mana ku melangkah
Menempatkan kaki di tempat yang benar
Cintamu hidupkanku
Nyalakan kembali semangat hidup yang redup
Mengangkatku dari keterpurukan
Dan cintamu warnai hariku
Jauhkan warna kelabu dari kanvas hidupku
Cintamu buat aku bersinar
Saya pribadi mengharapkan ada lagi karya-karya serupa dari Ibu Seli. Mohon kritik dan saran ya untuk tulisan ini. :)
0 comments:
Posting Komentar